“Kenapa?” tanya Biaz mendekatkan wajahnya ke wajah Nizi. Nizi melirik wajah itu sebentar, kemudian bermain-main dengan hapenya lagi. Bete!
“Aku ada salah sama kamu?” tanya cowok berkacamata itu sangat perhatian. Menyibakkan rambut ceweknya yang menutupi sebagian wajahnya.
“Kenapa sih Biazz…?!” kata cewek itu getir.
“Kenapa? Emang kenapa Zi?” tanya cowok itu nggak mengerti.
“Kan udah aku bilang enggak usah ngasih duit sama Pak Citro! Dia tuh mata duitan! Sekali kamu kasih dia duit, semakin banyak yang dia minta setelah-setelahnya!”
Biaz mengembangkan senyumnya.
“Ooh, terus?”
“Ya nggak ada terus-terusan!” jawab Nizi keras. “Lagian Bi, itu kan utangku! Kenapa harus kamu yang ngebayarin! Aku kan bisa kerja keras lagi buat ngebayar utang-utang itu!”
“Udah lah. Nggak usah dibahas. Masalah sepele begitu.”
“Karena itu sepele, makanya aku nggak suka nyusahin kamu…” ucap Nizi sedih. “Aku ini emang dasarnya ngerepotin.”
“Siapa bilang?”
Nizi makin menundukkan kepalanya.
“Udah dong, Sayang…. Masalahmu kan berarti masalahku juga. Itu nggak merepotkan kok! Sama sekali nggak merepotkan.”
Nizi memandang cowoknya dalam-dalam.
“Kamu emang baik Bi.”
* * *
“Ni, es krim.” Biaz menyodorkan satu cone besar es krim rasa stoberi kesukaan Nizi.
“Wow…” mata Nizi langsung berbinar. “Makasih…” Nizi menyambutnya serta merta tanpa menolak. Kalau masalah ini, udah pasti Nizi nggak bisa nolak.
“Stt, heh! Tuh liat. Enak bener Nizi. Udah dapet cowok tajir, cakep, baik lagi.” Bisik suara yang entah berasal dari mana. “Emang Biaz terlalu baik buat nolak semua kepengenan cewek itu. Kasihan Biaz. Dia cuman dimanfaatin ama Nizi doang! Kebaikannya dimainin gitu aja ama cewek itu.”
Nizi mencari asal suara itu. Tapi tak ditemukan. Dia mencoba tak perduli. Lalu melihat Biaz. Yang seperti nggak terusik apapun, sedang membaca buku ke-4 tetralogi Laskar Pelangi.
“Kurang apa coba Biaz?” suara itu muncul lagi. “Dia itu sempurna di mata semua cewek di skul ini, di Indonesia malah! Udah bisa deket ato temenan ama dia aja udah beruntung. Kenapa dia yang jadi ceweknya nggak punya perasaan banget, sih?”
“Katanya nih,” suara lain menyambung. “Kemaren Biaz juga yang bayarin utang keluarganya yang ampe berapa juta gitu. Kalo bukan malaikat, siapa coba yang mau ngelakuin itu buat cewek yang nggak ada apa-apanya kayak Nizi?”
Nizi menunduk dalam diam. Hatinya sakit. Apa memang seperti itu padangan orang-orang mengenai hubunganku dengan Biaz? Pemanfaatan? Oh, tidak! Bukan cuman aku yang berfikir kalo Biaz terlalu sempurna. Orang-orang juga begitu! Jadi, apa aku masih pantas buat Biaz?
“Zi, ayo balik ke kelas.” Ajak Biaz. Langsung menggandeng tangan Nizi, menariknya pergi.
Nizi menepis tangan itu. Es krim yang sebenarnya sangat dia sukai nggak sempet dia makan dan mulai mencair.
“Lho? Es krimnya belum di makan?” tanya Biaz. “Sini aku bantu makan!”
Biaz mengangkat tangan kanan Nizi yang membawa es krim dan menjilat es krimnya tadi. Nizi kaget setengah mati dengan reaksi itu. Kenapa…?
“Ehm… manis banget!” Biaz menjulurkan lidahnya.
Nizi tersenyum. Biaz emang nggak suka yang manis-manis. Kalo makan yang manis-manis, dia pasti langsung menyernyit nggak tahan. Nggak pernah sekalipun dia makan yang ada rasa gula-gulanya. Emang dasarnya dia nggak suka yang manis-manis.
Beda banget ama aku! Batin Nizi.
“Emang manis Bi. Tapi enak ya?” Nizi ikut menjilat es krim yang sebenarnya udah diabaikannya gara-gara suara-suara tadi.
“Iya. Manis banget! Apalagi yang makan.” Nggak biasanya Biaz ngegombal kayak gini. Nizi tersenyum makin lebar.
“Kenapa senyum-senyum gitu? Ayo balik!”
* * *
“Ini, buat kamu.” Biaz lagi-lagi membawa sesuatu yang sangat disukai Nizi. Kali ini, Biaz membawa gantungan kunci bergemerinting bentuk hati berwarna pink. Sangat cantik. Dan itu gantungan yang sudah diincarnya selama berbulan-bulan. Karena untuk membelinya aja Nizi harus puasa nggak jajan selama sebulan. Tapi, dengan begitu mudahnya Biaz nyodorin benda itu ama Nizi yang masih terbengong-bengong.
“Eng, gak usah lah Bi! Aku mau beli pake uangku aja kok.”
“Gak pa-pa. Kan udah terlanjur di beli. Lagian bakal kukasih siapa?” Biaz meletakkan gantungan itu ke tangan Nizi. “Uangmu disimpen aja. Kalo ada perlu yang penting, baru deh dikeluarin.”
Again, and again, Nizi cuman bisa bilang makasih.
“Hey, tuh liat Biaz!” kata suara yang sama persis dengan suara yang didengarnya waktu nongkrong di sekolah tempo hari. Kali ini, dia tau siapa pemilik suara itu, Friska. Cewek yang emang udah lama ngincer Biaz.
“Hay Bi!” sapa cewek itu tanpa basa-basi.
Nizi menghilang di antara tumpukan baju. Menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan Friska dari kejauhan.
“Sendiri Bi?”
“Sama Nizi.”
Wajah Friska langsung berubah raut.
“Masih sama cewek ngerepotin itu?” tandasnya. Dibalas Biaz dengan tatapan tajam.
“Maksudmu apa dengan cewek ngerepotin? Menurutku Nizi sama sekali nggak merepotkan.” Kata Biaz sambil mengedarkan matanya mencari Nizi.
“Dia nggak merepotkan. Sama sekali nggak merepotkan. Kalo menurutku dia merepotkan, aku akan mutusin dia dari dulu.” Biaz menatap Friska menusuk. “Menurutku, yang merepotkan itu cewek yang suka ngeganggu hubungan orang. Ngasih komentar-komentar pedas untuk menjatuhkan cewek orang, dan nggak pernah ngaca tentang gimana dirinya sendiri sebelum ngomentari orang lain.”
Biaz melihat Nizi yang sedang sembunyi di balik gantungan baju yang berderet memanjang.
“Yang kusukai cuman satu. Aku nggak peduli seberapa merepotkannya dia. Bagiku, bisa memberi kebahagiaan sama cewek yang paling aku sukai membuatku ikut bahagia.” Biaz muncul dari belakang Nizi tanpa dia sadari. Sekarang dia memeluk Nizi dari belakang dan mencium ubun-ubun Nizi hangat.
Friska dan teman-temannya yang lain memberi pandangan nggak suka dan langsung beranjak dari tempat itu secepatnya.
Mata Nizi berkaca-kaca. “Kenapa kamu sebaik ini sama aku Bi?”
“Karena kamu juga sudah sangat baik padaku. Makanya, aku nggak bisa membalas kebaikanmu yang begitu banyak itu. Dan aku merasa banyak berhutang budi.”
“Maksudnya?”
“Tenang, nanti kamu akan ingat.”
* * *
Beberapa tahun yang lalu…
“Hey, liat ada anak cowok nangis.” Kata anak cewek berusia sekitar 4an tahun menunjuk anak yang meringkuk di bawah pohon besar. Menangis.
“Ke sana yuk!” ajak suara imut Nizi waktu itu.
“Enggak ah. Aku nggak suka ulusan ama cowok. Kamu aja deh Niz, kita tunggu di sini.”
“Oke deh!”
Nizi mendekati cowok itu tanpa takut-takut sedikit pun.
“Kenapa kamu? Sakit ya?” tanya Nizi kecil sok care.
Cowok itu diam saja. Malah menatap Nizi nggak suka.
“Jangan gitu dong! Izi takut…” katanya mengiba. Cowok itu menghapus air matanya, dan menunjuk ke atas. Ada sebuah sepatu kets yang menyangkut di salah satu dahan. Agaknya dahan itu terlalu tinggii untuk dijangkau dengan loncatan kaki.
“Ohh, sepatumu nyangkut yah? Biar Izi yang ngambilin deh!”
Cowok tadi mau menolak tapi nggak kuasa ngomong apa-apa karena Nizi udah main nangkring aja ke pohon itu.
Temen-temen Nizi yang lain mulai mendekat. Berteriak-teriak dari bawah.
“Izi!! Pelan-pelan..!! nanti kamu jatuh…!” teriak mereka serempak.
Nizi hanya memamerkan gigi susunya yang rapi.
Kurang satu dahan lagi Nizi naik, sepatu itu bisa diraihnya. Tapi saat berhasil menarik sepatu itu ke tangannya, pegangannya lepas dan kakinya terpeleset. Akhirnya dia terjatuh di tanah.
Cowok tadi langsung mendekat.
“Ini,” Nizi menyodorkan sebelah sepatu yang berhasil diambilnya sambil tersenyum. “Aku berhasil mengambilnya. Jadi, jangan nangis lagi ya?”
Lalu Nizi nggak sadarkan diri dan harus digotong beramai-ramai ke rumahnya. Tanpa sempat mendengar ucapan terima kasih dari Biaz.
* * *
“Emang kejadian kayak gitu pernah ya Bi?” tanya Nizi saat mendengar rentetan kejadian beberapa tahun lalu bingung. Dia nggak ingat sama sekali.
“Iya. Kamu udah nolong aku dan aku selamat dari hukuman karena berhasil membawa pulang sepatu itu dengan utuh.”
“Ooh...” Nizi mengangguk-angguk pura-pura mengerti.
“Zi,” panggil Biaz menatap Nizi dalam-dalam. “Sebenernya, sejak dulu kamu tuh udah aku kenal. Kamu baik sekali. Dan yang aku ceritain barusan itu cuman satu dari seribu kebaikan kamu di masa kecil. Aku nggak akan pernah bisa membalasnya. Nggak akan pernah bisa. Karena kamu ngelakuin kebaikan yang nggak kamu ingat dan nggak kamu sadari. Jadi, yang baik itu sebenarnya bukan aku. Tapi kamu...” terangnya.
Nizi senang bukan main.
Senang karena ternyata dia tahu ternyata malah dia yang memberi kebaikan lebih dulu, senang karena Biaz udah lebih dulu mengenalnya, dan senang karena ternyata pandangan orang-orang selama ini terhadapnya salah besar!
“Bi, tapi bagaimanapun juga. Kamu yang paling baik. Paliiing... buaiik buat aku.” Kata Nizi sungguh-sungguh.
“Makasih...”
-end
* this story created 10/08/2008
** this flower language base on http://aggie-horticulture.tamu.edu which the writer use as reference. Any different information are not related.
0 comments:
Post a Comment