Aku dan Irham berjalan beriringan saat pulang sekolah. Selalu seperti ini. Dalam keheningan dan kebingungan, mencari topik bicara pun sepertinya nggak ada gunanya. Dia selalu sibuk dengan bacaan di tangannya. Matanya yang menatap lurus-lurus ke bukunya itu, mana mungkin telinganya mau mendengarkan ocehanku.
Huuff... aku cuman bisa menghela nafas kesal.
“Oke, aku belok sini.” Kataku akhirnya setelah sampai di pertigaan kompleks yang memisahkan langkah kami.
“Hmm...” cuman begitu jawabannya. Tiap hari, tiap kali aku pamit.
Sebel deh! Kok ada sih orang yang sebegini cueknya di dunia ini? Apa salahku coba sampai dia nggak menggubrisku sama sekali?! Kesal! Kesal!
Aku menaruh sepatuku di rak dengan asal. Tasku aku lempar begitu aja di sofa depan tv. Langsung aku menyambar remot dan menonton acara sore yang sebenarnya nggak begitu menarik perhatianku.
Kakak cuman memperhatikanku dari dapur dalam diam. Kemudian, setelah merampungkan cucian piringnya, dia segera menemuiku.
“Ada apa?” tanyanya perhatian.
Aku melihatnya sebentar, lalu berfikir.
Di dunia ini, ada orang yang begitu cueknya hidup tanpa sempat memperhatikan orang lain. Di sisi lain, ternyata masih ada orang yang dengan hanya melihat saja bisa langsung tau keadaan orang di sekitarnya. What a world!
“Kak Virman, tadi gak kuliah ya?”
“Lira, kamu tau kan kakak paling nggak suka kalo ada yang mengalihkan pembicaraan?”
Aku tersenyum. “Emang tadi kakak tanya apaan ya?”
Kakakku tersenyum sambil mengacak rambutku.
“Kamu ini nggak ada yang berubah ya? Udah SMA tapi masih aja kayak anak SD. Apalagi memorinya.”
Aku cemberut. Kakakku malah makin terbahak.
“Ya udah, yang penting kamu nggak pa-pa. Sekarang makan yuk, kakak udah bikin kare. Tadi kakak juga sempet mampir ke toko beli donat. Jangan cemberut terus ato nggak bakal kakak kasih donat.”
Aku langsung pasang tampang sumringah mendengar kata-kata donat meluncur dari mulut kakak. Hore! Ada makanan favoritku! Kakak emang selalu tau kapan bikin aku bahagia.
Nggak kayak orang itu!
* * *
Aku meliriknya sekilas. Hari ini pun, meskipun aku nggak ngerasa punya jam yang berdetak di angka yang sama dengan dia, aku berangkat bareng dia lagi. Catatan, LAGI! Tiap hari berangkat bareng, pulang bareng. Tanpa ada komunikasi berarti, membuat dadaku kadang kala terasa sesak. Padahal udah kenal 2 tahun. Semenjak Masa Orientasi Sekolah tahun lalu, sudah genap satu setengah semester kami berangkat dan pulang bareng. Tentu saja kecuali kalo aku nggak masuk atau dia nggak masuk.
Anehnya, nggak tau kenapa, aku merasa bahagia walau cuman berada di sisinya kayak gini. Tanpa perlu ada kata-kata.
Aku merasa hari ini lebih dingin dari kemarin. Padahal sudah jam setengah tujuh lewat beberapa menit. Tapi matahari belum juga terlihat batang hidungnya. Aku mendengar langkah kaki kami yang serasa jadi raja dan ratu di keheningan ini. Aku meliriknya sekilas. Irham memang cakep yah! Meski tiap hari bertemu, aku bahkan nggak merasa bosan memandanginya yang nggak pernah memperdulikan aku. Ugh, hidup memang ajaib ya kawan.
“Aww!!” jeritku kecil.
Aku hampir saja jatuh kalau bukan tangan itu menahan tubuhku yang hampir nyusruk ke tanah. Aku selamat.
“Ma, maaf.” Kataku setelah kembali berdiri normal.
“Nggak perlu. Aku nggak butuh maafmu.”
“Tapi kamu marah, makanya aku minta...”
“Sudah kubilang aku nggak butuh maaf..” katanya agak keras.
Aku mundur selangkah. Dia seram sekali.
Mataku mulai berkaca-kaca dan aku nggak sanggup menatap kedua belah mata yang menatapku tajam dari balik kacamata bening itu.
“Ya ampu Lira...” dia menyentuh kepalaku. “Kamu kan udah SMA, masak bilang terima kasih saja nggak bisa?”
Aku mendongak bingung. Jadi itu maksudnya? Nggak butuh maafku karena dia ingin mendengarku bilang terimakasih? Ah, aku jadi merasa bego! Bener-bener deh.
Aku menghapus air mataku yang menggantung di mataku. Lalu tersenyum.
“Terimakasih ya Irham.” Kataku tulus.
Dia cepat membalik badannya dan berkata, “Ayo jalan lagi. Tapi hati-hati.”
“Yak!” kataku mengekor di belakang.
Hatiku hangat sekali. Apalagi hari ini secara nggak langsung, terjadi komunikasi. Walau cuman sepatah kata yang aku dengar dari mulutnya. Tapi itu kan artinya udah ada perkembangan!
Dan tadi, tangannya... menyentuhku lembut! Baru kali ini aku merasakan kehangatannya sebagai seorang laki-laki.
“Ham,” panggilku lirih.
“Hmm?”
“Aku suka kamu!”
* * *
Nggak bisa kugambarkan perasaanku waktu itu. Aku spontan bilang padanya aku suka. Dia yang biasanya bertampang cool juga kaget dan wajahnya memerah. Aaahhh!! Aku malu pada diriku sendiri! Kok bisa-bisanya aku berbuat bodoh seperti itu!
Di kelas, aku sama sekali nggak bisa memandang wajahnya. Seharian itu aku malah berusaha menjauhinya. Dasar cewek bego! Bego! BEGO!
Opi yang duduk di sebelahku rupanya tau apa yang terjadi. Emangnya semua tingkahku ini begitu terlihat nyata menggambarkan apa yang aku rasakan yah?? Sial bener dah!
Waktu aku menceritakan apa yang udah terjadi pagi tadi, dia malah terbahak-bahak kegirangan.
“Beneran lu berani Ra! Gila! Ni anak badannya panas kali ya?!” komennya sambil menyentuh kepalaku. “Nggak panas kok!” dia tertawa lagi.
“Pi! Nggak usah kegirangan deh! Aku malu banget tau!” kataku kesal.
“Ya, ya... gue juga ngerti kok! Hahaha, hebat lu Ra! Nggak ada yang nyangka lu berani juga ngelawan si poker face itu.”
“Hah?”
“Yah, kalo udah begini, kita tinggal tunggu jawaban dia aja kan?”
Aku menunduk diam. Hal ini bisa jadi gawat!
* * *
Bu Listi membagikan hasil ulangan Kimia minggu lalu. Aku menerima hasil itu setengah gugup. Mau membukanya, masih ragu-ragu. Apalagi melihat hasil Opi juga cuman dapet 6. Nggak terlalu baik meski udah nggak masuk remidian.
Waktu Irham melewatiku sehabis mengambil hasil ulangannya, aku hanya sanggup sok sibuk dengan Opi. Nanya ini itu nggak penting. Setelah Irham lewat, aku baru bisa bernafas lega. Aku mengembalikan konsentrasiku ke kertas ulanganku. Tapi setelah lama aku pikir-pikir, akhirnya aku putuskan untuk membukanya di rumah aja. Biar kalo hasilnya menyedihkan aku nggak nangis di depan semua temen-temen di kelas.
Mengingat betapa kerasnya usaha yang aku lakukan untuk ulangan terakhir semester 2 ini. Biar nilaiku bisa mendongkrak ulangan yang sudah lalu. Aku minta bantuan Kak Virman les seharian non stop untuk mengejar ketinggalanku di bab-bab yang sebelumnya. Sampai rela bangun pagi buta jam 2 untuk tahajud dan melanjutkan belajar sendiri. Aduuh, bisa-bisa nangis darah beneran kalo sampai aku dapet cuman 7 doang!
“Ada PR untuk kalian semua sebelum tes kenaikan kelas. Ada soal 300 nomor yang harus dikumpulkan lusa.”
“HAAAHH??” koor anak-anak sekelas kaget.
“Tapi, tenang. Ibu tidak meminta kalian mengerjakan secara individual. Kalian bisa kerja kelompok 2 orang untuk mempermudah pengerjaan.”
“Pi, sama aku ya?” kataku.
“Waduh, kapan ngerjainnya kalo sama lu Ra? Gue kan rumahnya jauh! Lu tega bikin gue pulang malem kalo kerja bareng di rumah lu? Gue sama Gita aja. Rumah gue ama dia kan deketan.”
Gita mengacungkan jempolnya tanda setuju.
“Trus aku sama siapa dong?”
“Cari lah yang deket ama rumah lu.”
Aku berfikir. Yang deket kan cuman... IRHAM?? NO!!! Bisa mati berdiri aku kalo satu kelompok ama dia! Tapi, kalo nggak gitu, aku bisa-bisa nggak dapet temen satu kelompok lagi! Masak ngerjaen 300 soal secara ngasal! Kan nggak mungkin!
Dengan langkah ragu-ragu aku menuju bangku Irham. Dia sendiri lagi sibuk mengoreksi kertas ulangan yang barusan.
Aku hampir aja surut langkah kalo nggak si Opi mendorongku sampai membentur meja Irham. Membuat aku dan dia sama-sama kaget.
Aku bisa melihat dia cengingisan di bangkunya. Awas aja! Pasti aku balas kamu Pi!
“Ham, apa kamu udah ada kel...?”
“Irhaaamm!!” teriak seseorang yang kemudian berdiri di sampingku. Memandang Irham dengan senyuman.
“Kita satu kelompok ya?” katanya tanpa basa-basi. Cewek ini!
Aduh, aku keduluan! Gimana dong?
“Boleh aja.” Katanya santai sambil berdiri dari duduknya.
Apa katanya? Boleh? Apa?
Aku melempar kertas yang sudah kuremas-remas ke mukanya. Aku benci dia! Dia itu apa maunya sih?! Bikin aku kesal! Aku benci...
Tiba-tiba air mataku mengalir. Aku nggak memandangnya dan langsung membuka pintu keluar kelas. Aku berlari sampai lapangan basket. Aku nggak peduli bagaimana tampang orang lain waktu aku meninggalkan kelas tadi. Aku nggak peduli kalau nantinya Irham yang kusuka akan benci padaku untuk selamanya. Aku nggak peduli lagi!
Tanpa kusadari hujan gerimis turun. Tak berapa lama, gerimis itu menjelma menjadi hujan yang deras. Aku membiarkan diriku basah oleh air hujan. Dingin. Mungkin sedingin inilah perasaan Irham padaku. Dia sama sekali nggak menyukaiku. Makanya dia memilih bersama cewek lain daripada harus melukai perasaanku yang mengharap padanya. Padahal jelas-jelas dia nggak punya perasaan yang sama. Hatiku sakit.
Dari jauh terdengar langkah kaki yang cepat. Aku mendengarnya semakin dekat. Semakin mendekat. Dan waktu suara itu hilang, aku mendongakkan kepalaku. Sudah ada Irham berdiri di sana. Aku bisa mendengar dengusan nafas kelelahannya seperti sudah berlari-larian sejak tadi.
Aku menenggelamkan mukaku lagi. Aku benar-benar nggak sanggup melihat wajahnya. Aku yang udah berbuat begitu nggak mungkin bisa...
Kurasakan hangat tubuhnya memelukku dengan cepat. Aku terkesiap kaget. Benar. Dia benar-benar memelukku. Irham yang kusukai. Aaahh, rasanya seperti terbang merasakan lengan Irham meraihku seperti ini
“Maaf.” Katanya. Lirih. “Aku tak seharusnya berbuat begitu padamu.”
Aku menangis lagi. Tapi kali ini aku merasa sangat lega. Dia melepas pelukannya.
“Dengar ya, cewek itu nggak suka dinomor duakan! Kalau kamu udah tau perasaanku harusnya kamu tau kan kamu harus milih siapa meski cuman jadi teman satu kelompok aja?”
Irham memandangiku. “Aku juga nggak suka jadi nomor dua!” katanya membuatku tak mengerti.
“Tadi aku kesal. Karena ternyata ulanganku kali ini bukan yang tertinggi di kelas. Tadi Bu Listi bilang padaku. Dan tau aku kalah sama siapa? Sama cewek yang kusukai! Jadi aku malu. Marah sama diriku sendiri. Aku nggak memikirkan perasaannya dan malah mengiyakan ajakan cewek lain yang ingin satu kelompok denganku padahal dia sendiri belum menyelesaikan kata-katanya. Aku bodoh! Aku malu pada diriku sendiri!”
Aku takjub melihatnya. Dia melepas kacamatanya dan rambutnya yang basah membuatnya semakin berkilauan di mataku. Meski aku masih nggak ngerti apa yang dia bicarakan.
“Kamu pasti belum lihat hasil ulanganmu. Makanya nggak ngerti apa yang kumaksudkan.”
Aku mengangguk.
Dia mengeluarkan gumpalan kertas dari saku celananya yang belum banyak basah terkena air hujan. Ada 2 kertas. Satu bertulisakan nama Irham Laksana dan satu lagi, kertas ulangan bertuliskan namaku. Ah, aku mengerti sekarang. Ternyata dia kesal gara-gara nilai ulangannya hanya 98 sedangkan punyaku 100! Waah, ajaib! Aku senang sekali. Bukan karena aku berhasil mengalahkan nilainya, tapi karena aku tau Irham juga punya perasaan yang sama denganku.
Aku memeluknya sekali lagi. Dan dia pun membalasnya. Aku benar-benar diluapi kebahagiaan hari ini.
“Aku sudah bilang pada Feli nggak bisa satu kelompok dengannya. Aku memilihmu. Jadi jangan sedih lagi ya?” katanya menghiburku. Aku mengangguk lagi.
“Kau tak tau betapa sakitnya tamparan temen sebangkumu itu. Perihnya sampai sekarang masih terasa.” Katanya meringis. Mengusap pipinya.
“Lah, kenapa dia menamparmu?”
“Karena membuatmu menangis. Dan dia mungkin akan menghabisiku kalo aku membuatmu menangis lagi.” Aku dan dia tersenyum.
“Ham...”
“Ya?”
“Cepat sembuh ya lukanya...” aku mengatakannya sambil mengecup pipi kirinya yang kemudian memerah lagi.
“Akh, kamu ini suka sekali bikin kejutan ya?” katanya memelukku lagi. “Tadi pagi baru saja mengatakan suka padaku. Beberapa menit yang lalu melemparku dengan kertas tepat di hidungku. Sekarang menciumku. Dasar...!” katanya sambil mengacak-acak rambutku.
“WOI! Sampai kapan kalian mau hujan-hujanan?!” teriak Opi dari luar lapangan.
Aku dan dia tersenyum. Kemudian berjalan kembali ke gedung.
“Kamu ingin tau satu hal yang bagus lagi?” tawarnya padaku.
“Iya, apa?” kataku bersemangat.
“Mungkin nanti aja waktu kau berhasil mengerjakan 150 soal latihan bersama kita.”
“Aaahh, Irham bikin penasaran!”
Dia tertawa.
Aku menggandengnya sampai depan kelas. Di kelas, aku bertemu Feli yang minta maaf soal serobotan tadi. Aku cepat berkata ‘tak apa kok’. Juga menghadapi serbuan anak-anak lain karena si Opi udah mulai menyebar berita si poker face akhirnya jadian juga!
Dan lebih memalukan lagi, ketua kelasku menuliskan ‘Lira dan Irham. Semoga kalian berdua bahagia’ di papan tulis dengan tulisan yang super besar! Booddoooohhh!! Tapi di tengah-tengah itu semua, aku bahagia. Bisa bersama dengan orang yang kusukai. Orang yang selama 2 tahun ini terus berputar-putar dan memenuhi kepalaku.
Irham melihatku. Aku menyukaimu sudah sejak lama, Ra. Bahkan masuk SMA ini dan selalu berangkat atau pulang bersama adalah hal yang sudah aku rencanakan sejak lama. Semenjak melihatmu waktu kelas 2 SMP yang sedang bermanja-manjaan dengan kakakmu, aku ingin berada di sisimu. Dan menjadi tempat kamu bermanja seperti dia. Aku ingin selalu ada di sisimu. Karena memang itulah tekadku dari awal. Untuk bersamamu.
-end
* this story created 31/01/2010
** this flower language base on http://aggie-horticulture.tamu.edu which the writer use as reference. Any different information are not related.
0 comments:
Post a Comment