Sunday, February 1, 2015

Perasaanku, Akankah Sampai Padamu? PART 2

Di saat sebagian besar cewek SMA jaman sekarang sudah begitu beraninya nembak cowok duluan, ternyata masih ada sebagian kecil seperti Rena yang jangankan mendekat. Di dekati saja dia suka ngabur lebih dulu. Mungkin sebenarnya bukan karena nggak suka. Tapi dia begitu pemalu. Dan jarang mendapat perhatian spesial dari lawan jenis kecuali yang berhubungan darah dengannya. Dia lulus dari akademi yang semua muridnya perempuan dari SD sampai SMP. Mungkin hal itu yang menjadi penyebab dia begitu canggung berada dekat dengan lawan jenisnya.

Hal aneh ini justru membuat Tama, cowok dengan predikat naik daun sejak dia bergabung di klub sepak bola tahun lalu itu menjadi bak selebritis yang digandrungi semua kalangan bahkan kakak kelas (?), malah terkesan dengan sikapnya itu. Ya, buatnya yang selalu jadi pujaan di sana-sini, dikejar-kejar cewek, diberi ini itu tanpa perlu harus minta, ditembak lebih dulu, cewek macam Rena mungkin cuman ada 1 di SMANSA, bahkan di dunia. Mana ada yang tak jatuh hati sama cowok jago olahraga, ganteng, dan akademiknya bagus pula kayak dia? Mungkin cuman Rena dan cewek rabun lain.

Sebenarnya bukan tidak tertarik. Tapi Rena tak tahu harus mendekat dengan alasan apa. Baginya terlalu keras kepala kalau ingin mendekat dengan alasan berteman. Apalagi kalau untuk menyatakan perasaan duluan. Wah, bisa jadi udang rebus mukanya! Malu bos...
Dan Rena merasa Tama bukan orang yang bisa dengan begitu mudah didekati. Karena massa yang menyukainya begitu besar. Tak akan ada waktu baginya untuk mendekat. Sampai pada saat itu, entah keajaiban apa yang membuat moment itu jadi moment penting sepanjang sejarah hidupnya.

“Sini kubantu.” Kata Tama enteng. Mengangkat sebagian buku yang akan dikembalikan ke perpus.
“Tapi...”
“Ahh, nggak pa-pa. Lagian masak cewek angkat-angkat beginian? Parah emang kelas kita. Sekalinya tugas beginian nggak ada yang mau berangkat.” Mukanya bersungut-sungut seperti benar-benar kesal.
Rena nggak bisa menawan tawanya.
“Haha, kamu bisa begitu juga mukanya?”
“Hah?” tiba-tiba ditertawakan begitu membuat Tama bingung. Rena tertawa karena aku?
“Oh iya Na, lu tinggal di kompleks BNI kan?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Rena mengangguk. “Kenapa?”
“Enggak pa-pa. Aku pernah lihat aja di sana.” Bingung harus menjawab bagaimana.
Rena ber-ooo sambil mengangguk pelan.
Wih, ini bocah gampang percaya omongan orangI
“Kamu tau namaku kan?” tanya Tama lagi. Perjalanan ke perpus serasa bermil-mil. Nggak sampai-sampai dengan kecanggungan yang terjadi.
“Pratama bukan? Siapa yang nggak kenal sih?”
“Hahaha... kirain nggak kenal. Abis di antara anak-anak di kelas kayaknya cuman sama kamu aku belom pernah ngobrol.”
Rena tersenyum. “Iya. Buat aku, kamu cowok pertama yang ngajak ngobrol.”
Tama menghentikan langkahnya. Terkejut.
“Ha? Masa?”
Rena mengangguk.
“Kok bisa?”
Rena membalas dengan mengendikkan bahunya. “Mungkin karena aku freak.”
Tama tertawa lagi. “Kamu nggak freak lagi. Nggak mungkinlah kamu freak. Mana ada freak cantik kaya kamu.” Ups! Keceplosan.
Rena kali ini menatap ke arah Tama. Sesaat jantungnya berhenti berdetak. Oh, Tuhan! Kenapa sepertinya waktu berhenti berputar sewaktu cewek ini memandangku? What is wrong with me?
“Terimakasih.” Ujar Rena tulus. Tersenyum.
Fyuuuhh... akhirnya bumi kembali berputar. Batinnya lega.
“Kamu nggak suka cowok apa?” tanya Tama bercanda.
“Hah?”
“Engg... maksudku, emang kamu nggak suka berinteraksi sama cowok?”
“Ah, nggak juga. Buktinya sekarang aku lakukan.”
Rena meletakkan tumpukan buku di raknya. Menghitung jumlahnya. Tama hanya memperhatikan tangan-tangan lentik Rena membelah-belah antar buku untuk memastikan jumlahnya. Kemudian dia mengangguk sebagai tanda semuanya lengkap.
“Apa kamu nggak pernah suka sama cowok?” melanjutkan pertanyaanya penuh penasaran. Oh my God! Kenapa aku kelihatan kepo menyedihkan begini?!
“Pernah sih.”
“Jadi pernah punya cinta pertama lah ya.”
“Emm...” kelihatan berpikir. Tama menunggu dengan sabar meski benar-benar ingin tahu jawabannya.
“Mungkin cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan. Untuk lebih lengkapnya.”
“Wah, cewek secantik kamu bisa bertepuk sebelah tangan juga?” ups! Lagi-lagi.
Rena mengangguk. Senyumnya sedikit getir tapi bisa dia tutupi dengan baik.
“Kenapa cowok itu nolak?” wah, aku bener-bener kelewat kepo sekarang. Tapi apa boleh buat. Kapan lagi aku bisa ngobrol sama dia kalo nggak sekarang?
“Bukan ditolak sih. Aku juga nggak pernah bilang suka sama dia.”
“Wah, jadi cuman suka dalam hati doang? Yah... apa gunanya suka kalo nggak dibilang neng? Bukannya malah jadi beban perasaan kalau begitu?”
Rena menggeleng. “Ada yang perlu dipikirkan sebelum mengatakan suka. Bahkan akan ada lebih banyak yang perlu dipikirkan sebelum memulai suatu hubungan.”
“Misal?”
“Kalau aku nembak misal, ya kalo dia juga suka, kalo engga? Kalo iya, oke kita bisa jadian, trus habis itu apa? Apa bisa dipastikan kalo kita bakal bahagia? Apa yang terjadi kalo kita putus nanti? Apa kita bisa jadi seperti sedia kala sebelum kita jadian? Atau malah buruk?”
Tama menggeleng-geleng sambil tersenyum. “Itu kan cuman pikiran kamu aja yang terlalu berlebihan.”
Rena tersenyum dipaksakan. “Mungkin. Tapi pertanyaan itu juga nantinya akan terjawab oleh waktu. Dan sekarang aku bersyukur karena tidak bertindak bodoh dengan nembak atau semacamnya.”
“Benarkah?” Tama heran.
“Karena beberapa bulan setelah itu dia pindah ke luar negeri. Dan mungkin nggak akan pulang lagi. Entah apa jadinya kalo aku udah nembak dan jadian dengannya. Mungkin segalanya bakal serba sulit.”
Tama akhirnya mengangguk mengerti. “Jadi menurutmu lebih baik diam daripada menyatakan perasaanmu?”
“Mungkin itu bisa jadi pilihan.”

“Tapi aku yakin itu bukan pilihan terbaik kan? Misalnya, suatu saat ada seseorang yang punya perasaan yang sama denganmu tapi kalian berdua enggan mengatakan yang sebenarnya karena saling berpikiran begitu, apa itu jadi sesuatu yang menarik?”
Rena terdiam.

“Setidaknya harus salah satu yang mengusahakannya. Memang benar mungkin akan berakhir tidak sesuai harapan. Tapi kita kan memang tidak diciptakan untuk bisa melihat masa depan. Setidaknya kita bisa berusaha yang terbaik hari ini, untuk segala sesuatu yang akan terjadi esok. Coba deh Na, kalau ternyata si cowok yang kamu suka itu juga ternyata punya perasaan sama  trus dia nggak bilang juga karena dia tau dia bakal pergi jauh, apa kalian nggak sama-sama menyesal?”

Pembicaraan itu ditutup dengan bunyi bel tanda masuk. Tama memberinya pertanyaan. Pertanyaan yang mungkin juga Rena sudah tahu sejak awal. Menyesal? Benarkah dia tak merasakannya? Apa dia tau jika dia tak menyesal kemudian saat dia memutuskan untuk tidak menyatakannya? Seketika apa yang dia percayai selama ini mulai terasa asing.

--

Memutuskan untuk menyukai seseorang itu ternyata membutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang begitu besar. Selain itu menyerahkan sebagian hati kita untuk dimiliki orang lain bukanlah perkara mudah. Karena kita sudah menyerahkan nasib sekaligus masa depan hati kita kepada orang yang bersangkutan. Bisakah dia menjaganya? Atau mau dia apakah hati kita? Apa dia bisa menjaganya seperti kita menjaga dan merawatnya setiap detik dan menitnya? Atau pada akhirnya hati kita hanya akan diperlakukan seperti sampah, diinjak-injak lalu dibuang? Orang seperti apa yang layak untuk mendapatkan hati kita?

Kata ‘suka’ jadi kata yang paling misterius dalam kamus hidup Rena. Sejak hubungan dengan Ve 2 tahun lalu yang pada akhirnya meninggalkannya pada penyesalan yang mungkin akan dia rasa seumur hidup, dia belum bisa menterjemahkan rasa itu menjadi sesuatu yang lain dari sekedar rasa yang membuatnya bingung dan tak mengerti.

Bahkan orang seperti Rena yang cakap dalam berbagai perlajaran saja bisa begini bingung dengan masalah remeh temeh macam suka, cinta, dan sebangsanya.

Sudah dua minggu sejak pertemuannya dengan Tama. Pertemuan pertama yang membuatnya begitu terkesan karena meninggalkan pesan yang lumayan dalam. Dan siapa sangka dia dapat itu semua dari seorang Pratama. Cowok kekanak-kanakan yang bisanya cuman heboh soal bola dan bola. Rena tersenyum mengambang.

“Heh, pagi-pagi udah senyum-senyum aja. Sakit kah?” tanya Jia mengecek kening Rena.
“Nggak panas kok. Salah makan?” tanyanya lagi.
Rena cuman menggeleng.
“Emm... Ji. Kamu kenal sama Tama dari SMP kan?” tanya Rena tanpa perlu basa-basi. Tapi suaranya yang terlalu pelan membuat Jia merepet lebih dekat dan menyuruhnya mengulanginya.
“Kamu udah lama kenal Tama kan?” kini suaranya sudah jelas. Tapi Jia justru melotot dan minta Rena mengulangi sekali lagi. Seakan tak percaya cewek satu ini nanyain soal cowok untuk pertama kali padanya. Dan yang ditanyain soal Tama lagi!
“Kamu beneran salah makan apa, Re? Jangan-jangan kesambet?” Jia meninggikan suaranya. Nggak bisa dicontrol lagi. Hana yang baru datang langsung ribut pengen tahu. Jia membisikkan sesuatu sampai Hana menangis terharu.
“Akhirnyaa... akhirnyaa...” dia cuman bilang begitu berkali-kali. Anak-anak yang ada di sekitar nggak terlalu ambil pusing. Soalnya dua anak itu emang tukang bikin heboh di kelas. Tapi sebenarnya reaksi yang menurut mereka di luar dugaan justru datang dari Rena.

Tak seperti biasanya yang hanya tersenyum melihat polah kedua sohibnya itu, Rena kini tersenyum manis sambil mengkodekan mereka untuk memelankan suara.

Sebelum mereka selesai dengan tingkah hebohnya, Tama datang dari arah pintu. Melihat ke arah Rena yang rasanya ‘lain’ dari biasanya, kemudian melempar senyum ramah.

Rena membalasnya dengan cukup baik. Seperti biasanya. Tapi kedua teman yang cepat tanggap itu saling berkode lewat mata dan seakan mata itu bisa bilang, “Wah, bakal ada yang seru nih.”

--

0 comments:

Post a Comment

 
;