“Fer, siapa sih cowok itu? Kok jarang banget keluarnya? Kayak anak pingitan deh!” ujarku pada sepupuku yang 2 tahun lebih muda dariku penasaran.
Gimana enggak? Cowok yang lagi aku bicarain kali ini, bener-bener… wuah!! Gimana cara ngejelasinnya? Keren, charming, ganteng, oke, cool, apaan lah! Susah ngomongnya! Nggak bisa dicerna dengan kata-kata. Yang jelas… 100% aku banget!
“Nggak tau, Mbak. Keluarganya emang jarang banget keluar. Udah gitu, cowok itu juga nggak pernah aku liat nongkrong ama anak lain. Kerjanya ya cuman itu. Kadang keluar rumah beli sesuatu di warung, trus pulang, ya… itu!”
Aku mengangguk-angguk antusias.
“Tapi masak dia nggak punya temen?”
“Ya ada sih Mbak… malahan temen-temennya sering main ke rumahnya, gitaran bareng. Cuman kan, tetep aja dia nggak pernah keluar rumah!”
“Kamu tau namanya?”
Fera menggelang pelan.
“Gimana aku bisa tau kalo orangnya aja nggak pernah keluar gitu?”
* * *
Aku sudah menemukan sesuatu yang menyenangkan saat tiba di rumah nenek di kawasan Cepu. Hal lain yang sama mengsyikkannya dengan mencoba wahana baru di dunia fantasy. Padahal biasanya hanya kebosanan yang menyelimuti saat aku harus ditinggal ortu di rumah nenek untuk menghabiskan liburanku yang panjang.
Sekarang, meski cuman beberapa saat, aku bisa memulai petualangan baru dengan kuis berjudul “Oh, Oh Siapa Dia?” yang aku buat sendiri…
Hehehe… sekedar iseng untuk mengetahui identitas cowok itu lebih jauh.
Pagi ini aku bangun lebih pagi. Sementara hari yang lalu aku bisa bangun sampai jam 8! Sekarang pukul enam kurang 5 menit aku sudah mematut diri di kaca dengan pakaian rapi keseharian. Lalu aku berinisiatif pergi ke warung. Ke warung untuk apa? Begitu pikiran kalian, kan? Yang jelas, ini masih ada hubungannya dengan kuis itu.
Aku tau, setiap pagi, cowok itu pergi ke warung membeli sarapan. Agar nggak kelihatan mencurigakan, aku sengaja berangkat lebih dulu ditemani sepupuku Fera yang bahkan belum sempat menyisir rambut. Soalnya aku mengajak dengan sedikit paksaan!
Sampai di warungnya Bu Nur yang menjual berbagai macam makanan pengenyang perut, aku membeli sate ayam 3 porsi sekalian untuk Fera dan Nenek. Sambil menunggu pesananku dibuatkan, aku duduk-duduk di kursi. Memandang-mandang keluar.
Tanpa aku sadari, cowok wanted yang kemaren datang dengan wajah cool-nya yang biasa. Dan… Ohh… My God!! Dia duduk tepat di sebelahku.
Penjaga warung tadi langsung menyapa cowok tadi dengan senyum. “Seperti biasanya kan, Bayu?” tanya Ibu itu.
Cowok itu mengangguk.
Ooo… namanya Bayu… batinku. Hah?! Aku tau namanya! Aku TAHU namanya!! Pengen rasanya berteriak keras saat akhirnya step one ku berjalan dengan sangat mulus!
Oke, aku tau namanya. Selanjutnya… apa ya? Aku belum memikirkan yang selanjutnya.
“Ini Dek, pesanannya. Semuanya 6000.” Kata Bu Warung tadi.
Aku mengangguk. Menyodorkan uang, lalu mengambil bungkusan plastik yang diletakkan di meja. Cowok itu menatapku. Agak lama kali ini. Aku balas menatapnya. Sebentar dia menjadi kikuk. Aku hanya menatapnya. Hanya menatapnya, dan menarik Fera yang terkantuk-kantuk di meja dengan cepat. Kalau tidak bisa-bisa jantungku meledak karena tatapannya yang indah itu menatapku terlalu lama.
Setelah jauh dari warung, aku menghembuskan nafas lega. Jadi namanya Bayu? Oke, akan ku kuingat-ingat.
* * *
Hari-hari yang selanjutnya aku masih mencoba cara yang sama. Kali ini tanpa ditemani sepupuku. Kasian juga harus membangunkannya tiap pagi hanya untuk membeli sarapan yang sebenarnya nggak perlu. Hari ini, aku usahakan untuk tersenyum. Sekedar tersenyum. Bukan hanya menatap tanpa arti seperti kemarin!
Oke. Aku sudah sampai.
Beberapa saat kemudian dia datang seperti biasa. Dan duduk di sebelahku lagi. Kali ini menunggu terasa begitu lama. Aku nggak tau harus senang atau sedih karena merasa tersiksa seperti ini. Tapi aku akan tetap bertahan.
“Dek, ini pesanannya. Semuanya 8000.” Aku menyodorkan uang 10000-an.
Aku menatap Bayu, cowok itu. Dia balas menatapku, dan aku tersenyum. Dia juga mengembangkan bibirnya walau agak dipaksakan. Lalu aku pergi.
Perasaanku pengen melayang lagi! Dia tersenyum padaku! Oh, Tuhan! Senyumnya indah! Belum juga aku kembali menginjakkan kaki ke bumi, ada seseorang yang menepuk pundakku pelan.
Aku berjinjit agak kaget, setelah menoleh, aku lebih kaget lagi. Lho? Bukannya itu Bayu?
“A, a, ada apa ya?” tanyaku gugup.
“Ini kembalianmu. Kenapa tadi main pergi aja?” katanya menyodorkan 2 lembar 1000-an. Benar. Itu kembalian yang lupa kuambil!
“Oh, eh, maaf… Eh! Bukan. Maksudku, terimakasih.” Lagi-lagi jawabanku penuh kegugupan begitu.
“Lain kali jangan lupa lagi ya!” pesannya sembari tersenyum lebar. Dia kembali lagi ke arah warung.
Aduh… malunya!!!
* * *
Besoknya aku berada di warung lagi. Kali ini, sudah ada kemajuan. Kita sudah mulai saling berbicara walau sepatah-patah. Habis! Nggak tau harus ngomong apa! Keadaannya kan, kita emang belum mengenal satu sama sekali.
“Jadi, kamu cuman ngabisin liburan di sini?”
Aku mengangguk.
“Terus, rumah kamu di mana?”
“Solo.”
“Ohh… Solo…”
Diam sebentar.
“Eh, iya. Namaku Bayu. Kamu?” dia menyodorkan tangannya.
Aku cepat membalasnya. “Seli.”
“Nama yang cantik.” Pujinya.
Wajahku merona. “Tapi sayang yang punya nama nggak secantik namanya.”
Kita tertawa.
Waktu terasa begitu cepat saat kita mengobrol. Pesananku sudah siap lebih dulu.
“Oke, aku pergi ya?”
Dia mengangguk. Setelah keluar warung, aku serasa berjalan di udara. Ringan sekali. Aku nggak sabar lagi menunggu untuk besok!
* * *
Aku sangat semangat bercerita tentang kedekatanku dengan Bayu yang sudah berjalan 4 hari ini. Fera mendengarkan dengan baik.
“Aku juga baru tau lho mbak! Kalo dia juga anak kuliahan! Habis nggak pernah kelihatan, nggak gaul! Juga kayaknya dia home-sweet-home BGT.”
“Iya tuh! Katanya emang dia nggak suka keluar-keluar nggak jelas juntrungannya. Dia juga anti nongkrong-nongkrong nggak berguna. Jadi dia di rumah bikin design buat proyek masa depan dari visual komputer gitu. Kan jurusannya des-des apaa… gitu! Aku juga nggak tau.”
Aku masih tersenyum-senyum mengingat semua yang diceritakan Bayu padaku. Ternyata dia nggak sedingin yang kukira. Dan nggak ngira juga kalo dia enak diajak ngobrol.
“Mbak, trus, gimana kalo nanti mbak pulang ke Solo? Trus juga kalo dia balik ke Surabaya mau kuliah lagi. Gimana, mbak? Masih mau ngelanjutin?”
Aku tiba-tiba teringat. Benar kata Fera. Sebentar lagi bahkan aku pulang ke rumah asliku di Solo. Kita nggak mungkin bisa ngobrol-ngobrol lagi kayak gini. Pas waktu aku ke sini pun, mungkin aja bukan waktunya dia pulang. Jadwal kuliah kan makin lama makin padet! Duhh… gimana ya?
Besoknya, aku jadi nggak bisa bangun pagi gara-gara sampe malem mikirin hal itu terus. Hasilnya, aku telat dan nggak mungkin bisa pergi ke warung nemuin dia lagi. Parahh… parahh…!
Setelah mandi, aku melihat jam, ahh sudah jam 8! Aku keluar rumah dengan lunglai. Dasar si Fera emang tukang ngorok! Jam segini dia masih aja tidur.
Bayu ternyata ada di depan rumah. Dia duduk di terasnya yang sempit. Nggak biasanya banget! Melihatku. Dan aku melambaikan tangan kegirangan. Dia membalasnya.
Bayu mengodekan tangannya untuk mengajakku. Setelah kupikir-pikir, dia pasti mengajakku jalan-jalan. Aku mengangguk setuju.
Dan sampailah kita berdua di taman kota. Pagi-pagi begini, mana ada orang! Emang dia aneh ngajak aku ke tempat kayak begini pagi-pagi.
“Sori. Aku nggak bisa mikirin tempat lain.” Katanya yang seperti bisa membaca jalan pikiranku. “Tapi sebisa mungkin, pokoknya aku pengen ngajak kamu ke suatu tempat dulu sebelum kamu pulang lagi ke Solo.”
Aku menatapnya. Jadi dia juga sadar waktuku di sini nggak akan lama lagi? Kalo aku bisa pulang kapan saja karena memang di sini bukan rumahku? So sweet…
Dia mengajakku duduk. Di sana sudah ada sebuah gitar dan menunggu untuk dimainkan. Benar saja! Kemudian dia mengambil gitar itu dan memainkannya.
Lagu ini… lagunya Same-Same kan? Oh, my God! No way!
Do you ever wake up in the morning alone?
Do you ever wish that there was same way you could stay at home?
With somebody who loves you and needs you
With somebody who helps to complete you
But I’ve made mistakes and I know for sure
I won’t forget to remember…
Love isn’t always as you see it
Love isn’t always as you dream it, should be
Love isn’t always gonna find you
But it’s love coz you’re all I’m think of…
Selesainya dia menyanyi, aku menatapnya penuh ketidakpercayaan. Duuh… Rasanya jadi tambah nggak ingin pisah.
“Kamu nggak boleh lupa sama aku ya? Nanti aku kasih nomer hapeku. Kamu harus sms aku terus. Juga, jangan lupa ke sini tiap sebulan sekali. Nanti kamu ngomong aku, biar aku bisa pulang.”
Aku hanya mengangguk-angguk.
“Karena sebentar lagi kamu pulang, sekarang kita harus buat kenangan sebanyak-banyaknya. Aku nggak pengen ada dari kita yang merasa menyesal setelah nanti kepisah jarak.” Dia mengelus kepalaku lembut. Aku terisak-isak pelan.
“Surabaya Solo itu deket, nggak masalah berapa jauhnya kita kepisah. Toh, teknologi jaman sekarang udah serba canggih. Kamu ngapain aja aku mesti tau. Aku pokoknya nggak ingin kehilangan kontak ama kamu. Nggak tau kenapa,.”
Aku senang sekali saat dia bilang begitu. Sampai-sampai aku jadi terasa lemas dan aku nggak sanggup mengucapkan apa-apa. Terimakasih Tuhan…
“Kayaknya kita harus berterimakasih sama warungnya Bu Nur.” Katanya. “Kalo nggak ada warung itu, siapa yang bakal mempertemukan kita sampai sedekat ini?”
“Kalo nggak ada warung itu, dimana lagi tempatku lupa meninggalkan uang kembalian begitu saja? Padahal, karena itu kita jadi saling kenal!” ujarku disambut senyuman olehnya.
“Ya, berarti saat pertemuan kita yang selanjutnya, kita tinggal pergi ke tempat biasa...”
“Nggak ada lagi tempat lain yang bisa membuat kita betah ngobrol lama selain di warung itu kan?!”
“Warung itu… jadi comblang kita ya?” tanyanya bodoh.
Aku mengangguk. Tertawa lebar. Dan memeluknya erat.
Pertemuan selanjutnya pasti akan lebih indah. Dimana lagi tempatnya? Kalo bukan di warung yang penuh dengan cinta itu?
-end
* this story created 09/07/2008
** this flower language base on http://aggie-horticulture.tamu.edu which the writer use as reference. Any different information are not related.
0 comments:
Post a Comment