Saturday, March 7, 2015

[Cerpen] The Language of Flower Series - Monkshood :: Beware! Mudah Retak aka Rapuh





    Aku pernah mengalami persahabatan yang indah. Persahabatan yang tiada bandingannya di dunia. Begitu manis, juga sakit pada waktu yang sama.
    Berkumpullah aku dan kelima temanku yang lain dalam satu grup yang kami beri nama ‘Keajaiban’. Setiap hari kami menghabiskan waktu berkumpul, bercerita, membagi pengalaman, gosip, saling mentertawakan satu sama lain, dan hampir tak pernah kami melewatkan waktu sedikitpun untuk bersama.
    Grup kecil kami bermula pada keinginan Osi untuk membentuk kelompok yang nantinya akan pentas untuk kelulusan SMP. Pentas seni sudah menjadi acara tahunan SMP kami. Ada drama, vokal, pembacaan puisi sampai band. Dan di situlah muara pertemuan kami berenam. Membuat sebuah band dengan semua anggota cewek dan kami beri nama ‘Miracle’ atau ‘Keajaiban’.
    Susunan pemain pun disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Osi, yang dasarnya bisa semua jenis alat musik, memainkan drum. Fayi, bass. Pey, gitar . Eka, gitar . Lisa, keyboard. Dan aku sendiri sebagai vokalistnya.
    Karena mungkin aku yang paling berani dan tegas di antara mereka, entah sejak kapan aku jadi leader mereka. Osi yang memintaku.
    Bicara soal Osi, dia itu seseorang yang benar-benar sempurna di mataku. Keluarganya berkecukupan, kehidupannya bahagia, dia cantik, baik, juga pintar bergaul. Di mataku, dia begitu jauh dan tak terjangkau. Rasanya seperti apa yang aku inginkan ada padanya.
    Sampai sekarang aku juga tak menemukan jawaban atas pertanyaan ‘mengapa dia memilihku’. Tentang aku yang bersuara pas-pasan dan nggak ada pengalaman dalam membentuk band. Aku yang pendiam dan selalu menjaga jarak dengan orang lain. Tapi dia, dengan senyuman dan kata-katanya yang lembut membuatku begitu ingin bergabung dan merasakan, seperti apa kehidupan yang selama ini dia jalani.

•••

    Aneh. Itu kesan pertama yang aku dapat waktu bergabung bersama mereka. Anak-anak ini, begitu ceria dan selalu menebar gurau. Bercerita panjang lebar sampai tak tau ujungnya, saling mengejek dan mengganggu satu sama lain, tanpa ada rasa egois dan ingin menang sendiri. Suasana yang ada di sekitar mereka terasa lebih hangat dan lebih hidup. Aku suka ini.
    Bermula dari sanalah, kehidupan SMAku yang sebenarnya baru benar-benar dimulai.

•••

    Osi adalah anak yang paling ceria di mataku. Dia yang selalu pertama kali memulai gurauan. Ada-ada saja gurauannya. Mulai dari tukang batagor, guru, SMA sebelah yang katro waktu ngelihat cewek. Semuanya dia bisa ceritakan secara lucu. Nanti setelah itu, tingkah Fayi yang kekanak-kanakan pasti semakin menambah derai tawa anak miracle. Belum Pey dan Eka yang sudah seperti ratu gosip SMA. Poin plus plus plus-nya pasti jadi merambah ke mana-mana.
    Di saat seperti itu, kalau tidak ikut tertawa, aku hanya diam dan mendengarkan. Mungkin di antara ke lima teman-temanku ini, akulah yang paling pendiam. Tak terlalu banyak berkomentar, tapi selalu cepat menyelesaikan masalah. Begitu pikiran mereka tentangku.
Dalam waktu Ekat, kita sudah saling mengenal dengan baik. Main ke rumah satu sama lain, baca komik, duduk satu jajar, makan bareng, punya tempat tongkrongan favorit, dan saling bertukar hadiah pada event tertentu.
    Persahabatan kami terasa begitu mendalam dan aku sangat suka pada teman-temanku yang baru ini. Mereka yang mengerti aku, mereka yang mendengar keluah kesahku, mereka yang selalu menuntunku kala aku kesulitan. Mungkin ini pertama kalinya bagiku menghargai persahabatan lebih dari apapun. Mereka sudah seperti harta karun yang sangat berharga yang berhasil aku temukan. Inilah masa-masa paling membahagiakan selama 18 tahun aku hidup di dunia ini. Bersama mereka, sahabatku.

•••



    Dan kita tak pernah tau apa yang selanjutnya akan terjadi dalam hidup. Yang aku tau, takdir adalah sesuatu yang tak bisa dihindari dan dirubah. Jika kami percaya pada bentuk keajaiban, maka kami percaya, inilah yang disebut dengan takdir.
    Aku sendiri tak tau pasti kapan hal itu mulai terjadi. Tapi sesuatu yang besar pasti berasal dari sesuatu yang kecil yang pada kali itu terlewat dari penglihatanku. Aku baru sadar ada yang tidak beres waktu kelompok kami terpecah menjadi dua kubu. Pey dan Eka yang selalu terlihat berdua kemanapun mereka pergi, Osi dan Lisa yang terlihat selalu menghindar.     Aku dan Fayi yang kebetulan satu tempat duduk, bingung tak tau harus bagaimana meredakan masalah yang aku sendiri tak tau akarnya dari mana.
    Hari-hari berjalan membosankan dan nggak asik. Tak ada lagi gurauan, tak ada lagi kumpul bersama, yang ada sekarang tempat duduk kita semua berpencar, tak saling sapa dan terlihat murung. Lebih sakitnya lagi banyak yang menanyakan, “Miracle lagi banyak masalah ya?” padaku dan Fayi. Yang hanya kita balas dengan sebuah senyuman tipis.
    Aku bingung dan tak tau harus bagaimana. Aku ingin menanyakan pada Osi atau Lisa, tapi aku takut Eka dan Pey mengira aku memihaknya. Dan sebaliknya, kalau aku bertanya pada Pey atau Eka, nanti Osi dan Lisa akan ikut menghindariku. Benar-benar pilihan yang rumit.
    Aku ingin percaya kalau masalah pasti ada jalan keluarnya. Sesulit apapun itu! Tapi, bagaimana mungkin aku menemukan jalan keluar untuk mereka sedang aku sendiri tak mengerti masalah apa yang mereka hadapi?
Apa masalah itu besar? Apa masalah itu hanya bisa selesai dengan saling menghindar seperti ini? Apa masalah itu...?
    Aku tak tau. Yang jelas aku harus dapat caranya! Untuk menyelesaikan masalah bodoh yang membuat persahabatan kami merenggang seperti ini.
    Saking penasarannya, kuberanikan juga menemui Osi di rumahnya. Saat itu memang sedang tak ada orang di rumahnya. Jadi aku bisa lebih tenang membicarakan sesuatu berdua.
    “Jadi, kenapa Si?” tanyaku padanya yang masih terlihat murung.
    “Aku juga nggak ingin begini Fit! Tapi aku benar-benar sakit hati sama omongannya Pey yang seperti itu!” katanya.
    “Maksud kamu? Perkataan yang mana?”
    Dia berfikir sebentar. “Kamu di pihak mana?” tanyanya membuatku kaget. Apa ini? Perang?
    Kujawab dengan tegas, “Aku nggak memihak. Kalaupun kamu menginginkan aku memihakmu, tapi aku berteman dengan kalian berdua, aku memihak kalian berdua. Dan aku nggak ingin kehilangan temanku yang berharga.”
    Dia tersenyum pedih. “Dia bilang aku cewek bego. Nggak punya otak. Nggak tau malu.”
    “Dia bilang begitu?” tanyaku kaget.
    Dia mengangguk.
    “Kamu mungkin salah dengar...”
    “Nggak Fit! Enggak! Aku dengar dan di sana juga ada Deni sama temen-temennya yang lain. Dia ngatain aku begitu! Di depan semuanya! Aku malu Fit...! Malu!” matanya sudah berkaca-kaca ingin menangis.
    “Aku sebenarnya nggak suka begini. Tapi, aku sudah terlanjur terluka sama ucapannya yang seperti itu. Aku diam dengan maksud menunggu permintaan maafnya. Tapi apa? Dia malah menyebar fitnah sama anak-anak soal aku.”
    Aku diam saja. Kalau kejadiannya sudah seperti ini, pasti akan rumit.
    Aku kenal Pey baik. Dia kalau tidak suka sama seseorang, pasti langsung bicara frontal di depan orang itu. Tak peduli apa dia akan mempermalukan orang itu atau tidak, yang jelas dia berani bicara di depan tanpa perlu ada bisik-bisik lagi sesudahnya.
    “Tapi apa nggak lebih baik kita sudahi pertengkaran ini Si?”
    “Aku ingin Fit! Ingin! Tapi melihat kelakuannya yang seperti itu, aku benar-benar...” Osi sudah benar-benar menangis. Meski tergolong anak yang ceria, kalau sudah ada masalah begini, pasti dia langsung habiskan malamnya dengan menangis.
    “Aku ingin istirahat Fit, kapan-kapan saja kita teruskan.” Ucapnya di sela tangisnya.
Aku memandangi rumah itu untuk yang kedua kalinya. Semoga Lisasatku salah. Aku hanya tak ingin persahabatanku ini berakhir di sini. Semoga aku masih bisa terus memiliki mereka setelah semua ini berakhir. Tuhan, kumohon. Demi apapun. Biarkan persahabatan ini kekal dan terus abadi.

•••

    Tak ada keajaiban hari itu.
    Aku merasakan hembusan angin dan dinginnya suasana makin membuatku tak tenang.
    Di tempat tongkrongan kami yang biasa, sudah berkerumun anak-anak yang aku tak tau sedang apa. Perasaanku mulai tak enak. Dan benar saja! Pey dan Osi sedang perang mulut dan anak-anak berkerumun dengan bodohnya tanpa berusaha melerai.
    “Kamu tuh cuman dimanfaatin sama Deni! Mau sampai kapan sih kamu sadar?” suara Pey melengking hebat, semuanya mencekam.
    Osi sudah menangis sesenggukan.
    “Sudah kubilang dia itu baik. Memangnya dia pernah mencelakaimu?”
    “Aku tuh dengar dari teman-temannya, dia itu...”
    “Itu dulu Pey, dulu!” Osi sudah terisak-isak. Lisa yang disampingnya hanya terdiam membisu. Eka sendiri lebih menikmati saat-saat itu dengan hanya melihat bersama yang lain berkerumun.
    Ada apa ini Tuhan?
    Sontak aku membubarkan kerumunan tak jelas itu sambil meminta maaf pada yang lain atas keributan yang terjadi.
    “Pey! Sudah! Hentikan! Apa-apaan sih teriak-teriak begitu!” nada suaraku mengencang tanpa kusadari.
    “Apa? Jadi kamu lebih mihak dia?!”
    “Bukan memihak! Aku nggak memihak salah satupun dari kalian! Aku ingin tetap berteman dengan kalian, jadi sudah hentikan pertengkaran ini!”
    Aku menengok Osi dengan tak sabar. “Sudah Si, jangan nangis! Nggak ada masalah yang bisa selesai dengan menangis!” kataku masih dengan nada keras.
    Semuanya terdiam. Langit tiba-tiba mendung. Pasti sebentar lagi turun hujan.
    “Si, apa sudah tenang?” tanyaku pelan.
    “Aku nggak bisa meneruskan band ini lagi, Fit. Maaf.” Katanya.
    Aku dan beberapa yang lain terkejut atas penuturan mendadak itu.
    “Cari saja penggantiku. Pasti banyak yang lebih baik.”
    Aku tertegun. Dan hening lama. Sampai...
    “Aku nggak mau.” Suara Fayi terdengar bergetar. “Meski aku yakin ada yang bisa menggantikanmu main, aku tak yakin ada yang bisa menggantikanmu di hati kami semua.”
    Aku mengangguk.
    “Kamu lupa kenapa kamu mau membuat grup ini? Kenapa kamu mengumpulkan kita semua di sini?” tanyaku. “Aku tak peduli soal band, manggung, atau apapun. Tapi aku sangat peduli pada persahabatan kita. Kita berkumpul di sini untuk berteman, bukan untuk mencari musuh. Dan band ini, benar-benar nggak ada artinya kalau kamu nggak ikut gabung, Si.”
    Osi seperti mau menangis lagi, tapi dia tahan. Dia tak ingin kelihatan rapuh saat ini.
    “Aku sayang kalian semua. Aku bahagia pernah menjadi bagian dari keluarga kecil ini. Dan semua ini nggak akan pernah ada tanpa adanya kamu, Si. Kamu lah yang mempertemukan kami semua. Kamu juga yang membuat hidupku berubah. Apa jadinya kalau kamu nggak ada?”
    Osi memandangiku sebentar, air matanya menetes lagi. Mengalir halus dari sudut matanya yang memerah.
    “Maaf ya...”
    Itulah kata-kata terakhirnya sebelum grup ini benar-benar menghilang. Musnah.
Di tengah kegalauan hatiku mengapa semuanya jadi seperti ini, gerimis mulai turun. Lisasatku benar. Entah kenapa keajaiban Tuhan tak berlaku hari ini.
    Aku sedih dan begitu kecewa. Persahabatan ini terasa begitu cepat usai.
    Tapi tidak. Kenangan saat kita berenam berkumpul bersama tak pernah terlupa. Komentar lucu yang dilontarkan Osi juga akan selalu terngiang di kepalaku. Kita berenam memang sudah tak mungkin kembali seperti dulu lagi, tapi kepingan tentang cerita persahabatan ini, akan selalu aku bawa. Karena aku pernah mengenal lima orang luar biasa, yang memahamiku apa adanya. Merekalah, sahabatku. Atau mantan sahabat? Atau…. Apapun… yang jelas mereka adalah orang-orang penting yang pernah mengisi hari-hariku.

•••



* this story created 05/05/2010
** this flower language base on http://aggie-horticulture.tamu.edu which the writer use as reference. Any different information are not related.

0 comments:

Post a Comment

 
;