Hari
ini Revi membawa bekal spesialnya untuk Hero. Sejak kepergian Papa tempo waktu,
Revi akhirnya mendapatkan kekuatannya kembali untuk masuk ke sekolah. Walau pun
pada akhirnya dia harus banyak mengejar ketinggalannya dengan meminjam cacatan,
Revi melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh.
2
minggu lagi ujian akhir semester dilaksanakan. Dan lagi tugasnya di klub
semenjak absen juga belum disentuh. Harus ekstra kerja keras karena Hero juga
sedang sama sibuknya latihan untuk pertandingan liga basket tingkat nasional 2
bulan lagi.
“Kamu
yakin masih mau ke klub? Bukannya Pak Setya bilang nggak perlu dipaksakan dulu
kalau kamu belum bener-bener fit Rev?” tanya Dhika sanksi. Dia mengkhawatirkan
Revi yang sepertinya terlalu memaksakan dirinya.
Revi
menggeleng. Menangkis semua kecemasan Dhika dengan sebuah senyuman. “Aku nggak
sakit kan kak, cuman agak syok aja kemaren-kemaren. Kejadiannya rasanya begitu
cepat dan nggak sekalipun terbersit di pikiranku. Makanya aku agak down.” Revi
membereskan semua catatan di meja. Melihat jam di tangannya, sudah jam 3.
“Tapi
karena ada Hero, kak Dhika, juga teman-teman yang lain yang selalu support aku,
rasanya nggak pantes kalo aku harus terus menerus berduka.”
Dhika
mengelus kepala Revi. Dia jadi agak tenang.
“Hero
cowok yang hebat ya. Bahkan dia...” Dhika tiba-tiba menghentikan perkataannya.
“Dia...?”
Revi menuntut lanjutan.
“Ummm...
maksud kakak dia rela melakukan semuanya buat kamu. Dia perhatian sama kamu.”
Mendadak Dhika gugup.
Revi
tersenyum senang.
“Ya.
Aku harus banyak-banyak berterimakasih sama dia kan kak. Dia udah mau terus ada
di samping aku waktu aku lagi down begini.
“Sebenarnya,
kalian itu udah jadian belum sih?” tanya Dhika tiba-tiba ingin tahu.
Revi
yang ditanyai begitu mendadak geragapan. “Eh, ja-ja-jadian kak?”
Dhika
mengerutkan keningnya heran.
“Emangnya
kakak salah tanya ya? Bukannya pertanyaan kakak wajar? Kalian kan deket, Hero
juga perhatian sama kamu...”
“Tapi
kak!” potong Revi tiba-tiba.
Dhika
menatap Revi bingung.
“Tapi
Hero punya seseorang yang dia sayang kok. Sampai sekarang dia masih sayang sama
orang itu. Orang yang ada di masa lalunya dia.” Mendadak suara Revi berubah
menjadi sedih. Dia menenggelamkan pikirannya entah kemana. Pandangannya kosong.
Dhika
yang melihat itu malah ingin sedikit menggodanya.
“Ooh,
Lyana?”
Revi
terkejut.
“Ah,
Hero pernah cerita beberapa waktu lalu. Kita ketemu nggak sengaja di Resto
Abbe, dan dia ngenalin ke kakak. Cantik sih si Lyana.”
Revi
mengangguk. “Cantik banget kak. Makanya...”
Dhika
tersenyum penuh kemenangan. Sorry, Ro.
Tapi gue juga sayang sama Revi. Jadi boleh dong kalo gue main api sedikit?
“Jadi
Lyana itu yang kamu sebut sebagai seseorang yang Hero suka?” Dhika makin
memojokkan.
“Iya.”
“Memangnya
kamu yakin Hero masih sayang sama Lyana sampe sekarang?”
Belum
sempat dijawab tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Hero dengan seragam basketnya
masuk dan melihat Revi sedang ngobrol dengan Dhika berdua saja.
Peluhnya
menetes karena sempat pemanasan dengan main 15 menit 3 on 3 sama anak-anak
anggota klub tadi.
“Ah,
maaf. Kirain nggak ada orang. Aku cuman mau ambil tas.” Katanya kemudian.
Merasa ada yang aneh, Hero menghampiri Revi.
“Kamu
nggak perlu memaksakan datang hari ini.” Hero menyentuh kening Revi, yang
dengan segera ditepisnya.
“Aku
nggak pa-pa kok. Kak Dhika, aku ke ruang klub duluan ya, 10 menit lagi aku
langsung ke lapangan.” Revi cepat mengemasi tasnya dan berlari keluar dari
kelas.
Hero
yang merasa diacuhkan langsung mengangkat kerah baju Dhika.
“Kamu
ngomong apa aja sama Revi?”
“Hey
hey, selow, bro. Aku nggak ngomong apa-apa sama Revi kok. Justru Revi yang
berfikir apa-apa soal kamu...”
Cengkeramannya
dilepas.
“Maksudmu?”
“Dia
pikir kamu sama Lyana itu masih ada apa-apa.”
“Hah?”
Dhika
mengangkat bahunya.
“Mungkin
udah saatnya kamu bilang ke dia soal hubunganmu dan Lyana. Dia udah terlalu
lama menunggu. Itu juga kalau kamu beneran punya rasa sama dia.”
Hening
sejenak menguasai.
“Aku
beneran sa...”
“Nggak
perlu ngomong padaku!” potong Dhika sebal. Ngerasa risih mendengar pernyataan
Hero yang gamblang.
“Saat
ini orang yang paling ingin mendengar itu cuman dia Ro. Kamu tahu betul hal
itu.”
--o--
Revi
membereskan ruangan klub yang lebih pantas disebut dengan kandang sapi dalam
waktu kurang dari setengah jam. Dia nggak menyangka ruangan klub bakal separah
itu hanya dalam waktu 3 hari sejak dia absen.
Dia
baru akan beranjak keluar saat kemudian melihat Hero lewat jendela ruangan
dengan agak tergesa.
Melihatnya berlari begini selalu
bisa membuatku berdebar. Hero memang paling cocok jika mengenakan seragam
basketnya dengan peluh membasahi tubuhnya. Setelah berfikir begitu dia segera menepuk kedua
pipinya dan menggeleng. Ya ampun, kenapa
pikiranku jadi kemana-mana.
Revi
membuang sampah yang berhasil dikumpulkannya dan segera berlari ke warung depan
sekolah untuk membeli minum buat anak-anak klub. Hari sudah makin sore dan
matahari hampir terbenam waktu sampai ke lapangan.
“Wah,
manager udah datang!”
“Gimana
kabarnya Manager?”
“Asik,
sekarang ada yang mobile lagi.”
Revi
tersenyum melihat anak-anak klub yang selalu bersemangat saat dia kembali.
Membagikan pokari yang dibelinya ke semua anak yang ada satu per satu. Kemudian
bimbang waktu mau memberikan bagian Hero.
“Kenapa
Rev?” tanya Dhika yang melihat ekspresi aneh Revi.
“Ehmm...”
“Sini
kakak aja yang kasih ke Hero.” Dhika yang mengerti mencoba mengambil botol yang
dipegang Revi.
“Eng,
jangan kak. Aku aja.”
Dhika
tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Revi.
Revi
perlahan mendekat ke Hero yang sedang duduk di bangku dekat tangga. Pelatih
sudah memperbolehkan sebagian untuk pulang sementara sebagian lagi masih dengan
tugas rutin harian merapikan bola dan mengembalikannya ke ruangan klub.
Hero
sedang melap keringatnya yang membuat seragam basketnya hampir seluruhnya
basah.
Revi
duduk di sampingnya. Tiba-tiba kaku untuk sekedar menyapa.
“Wah!”
Hero berseru kaget melihat Revi sudah duduk di sampingnya. Revi yang juga kaget
karena Hero tiba-tiba teriak hanya membalikkan badannya malu.
Hero
tertawa. “Kukira ada penunggu sekolahan cewek yang tiba-tiba naksir padaku.
Ingin pedekate.” Katanya lagi.
Revi
ikut tersenyum. Kemudian dia menyerahkan minuman bagian klub dan satu kotak
bekal.
“Ha?
Apa ini?”
“Bekal.”
“Ha?”
“Bekal
Hero! Tadi aku membuatnya di rumah. Baru sekarang aku bisa ngasih ke kamu.”
Ujarnya yang tiba-tiba merasa malu.
Hero
menerima.
“Ah
iya. Itu isinya makanan panggang kok. Jadi rasanya nggak pa-pa walau kamu mau
makan besok.” Jelas Revi tanpa diminta.
Hero
menatap Revi lama, kemudian tersenyum.
“Mau
makan bareng?”
“Enggak
aku...”
Tiba-tiba
suara perut keroncongan terdengar.
Revi
ingin sekali menyembunyikan wajahnya kalau nggak Hero yang gigih mengajaknya
duduk.
“Kamu
terlalu serius nyalin catetan sih. Makanya pas istirahat nggak sempet makan.”
Ujar Hero. Mencoba menenangkan Revi yang masih tersipu malu.
Hero
menyuapkan schotel macaroni ke mulutnya. Kemudian mengunyah dengan tenang.
Melihat Hero yang begitu menikmati masakan buatannya, tanpa sadar Revi
tersenyum.
“Hah?”
Revi terkejut karena Hero tiba-tiba menawarkan untuk menyuapinya dengan sendok
yang sudah berada dekat dengan wajahnya.
“Enak.
Aku suka.” Hero tersenyum. Memaksa Revi untuk ikut makan juga.
“Eh,
tapi...”
“Ayo
makan. Kamu kan lapar.”
Dengan
ragu Revi menerima suapan Hero. Wajahnya jadi merah padam mengingat hal kecil
yang dilakukan Hero barusan.
“Kenapa?”
Hero menyentuh kening Revi sekali lagi.
Revi
dengan sigap mengelak.
“Ah,
aku harus ngunci pintu klub dulu.”
“Nanti
aja.” Hero menarik tangan Revi. Membuatnya kembali duduk di sampingnya. “Lagian
kamu baru makan sesendok.”
“A...
aku kan bisa makan sendiri Hero.” Revi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
Hero
terkikik. “Kamu malu aku suapi?”
Revi
nggak menjawab pertanyaan barusan dan mulai menyendok makanannya banyak-banyak.
Dia mulai mengunyah dengan mulut penuh.
Hero
memandang Revi dengan hangat. Pandangannya begitu tak bisa dialihkan dari cewek
yang satu ini. Tanpa sadar dia mengecup kepala Revi yang kemudian menjatuhkan
sendoknya karena terkejut.
Tatapan
mereka bertemu. Hero nggak mengalihkan pandangannya. Revi saking terkejutnya
nggak bereaksi. Lama. Hening. Hanya suara anak-anak ribut di ruang musik yang
terdengar.
“Rev...”
Hero hendak membuka suaranya saat Revi reflek menunduk untuk mengambil
sendoknya yang jatuh.
“Ah,
jadi kotor. Maaf. Aku... ke kamar mandi untuk nyuci ini dulu ya...”
“Rev!”
Hero menahan Revi untuk kedua kalinya.
“Kenapa
Ro?” suara Revi dibuat setenang mungkin. Padahal dalam hatinya gemuruh badai
sedang menerjang kencang.
Hero
melepaskan genggamannya.
“Kita
pulang bareng ya. Aku tunggu di sini.” Katanya kemudian. “Dan nggak usah kuatir
sama sendoknya. Aku pinjam sendok ibu kantin aja.” Hero tersenyum sambil
mengemasi barangnya dan pergi menjauh.
Revi
melangkahkan kakinya ke ruangan klub cepat. Dia masuk ke ruangan yang kini
kosong itu dan menutup pintunya dari dalam. Bersandar di sana dan mencoba
menenangkan jantungnya yang berdetak tak menentu.
Revi
masih merasakan kecupan kilat barusan.
Apa Hero sengaja melakukannya? Atau
yang tadi itu cuman kebetulan karena aku begitu dekat lalu nggak sengaja
kesentuh? Tapi...
Revi menyentuh kepalanya. Rasanya begitu
hangat dan entah kenapa aku yakin kalau kamu nggak melakukan itu karena nggak sengaja,
Ro.
Jantungnya
berdebar lagi. Revi frustasi dan mendekap dadanya erat.
Aahhh!! Kenapa rasanya begitu berat
berada di sisi Hero saat aku sadar kalau aku suka sama dia?!
--o--
“Masih
lapar Rev?” tanya Hero. Saat Revi kembali ke tempat janjian tadi. Sudah lengkap
dengan jaket dan ranselnya.
Revi
nggak segera menjawab. Meskipun dia nggak terlalu perduli soal perut, dia sadar
kayaknya si Hero ingin mengajaknya jalan.
“Hei.”
Hero mencondongkan wajahnya agar bisa melihat wajah Revi.
“Eh,
ah... aku...”
Belum
sempat bertanya, Revi sudah ambruk duluan.
Hero
panik. Berkali-kali memanggil namanya namun yang Revi cuman terbaring lemas di
dekapan. Beruntung Hero sigap dan langsung menangkap tubuh kecil Revi sebelum
sempat terjatuh di lantai sekolah.
Revi
berusaha membuka matanya namun usahanya sia-sia. Kepalanya pening. Badannya
terasa begitu panas. Bayangan terakhir yang dia lihat adalah saat Hero
berkali-kali memanggil namanya. Kemudian semuanya berubah gelap.
--o--
Revi
terbangun dari tidurnya tepat saat suster mengecek keadaan tubuhnya. Ada Mama
juga di sana. Ada Rei juga.
Revi
masih berusaha mengerjab untuk melihat sekeliling lebih jelas sampai tangan
kirinya merasakan genggaman erat.
“Kamu
udah baikan?” tanya suara itu lembut. Hero.
Revi
tersenyum dan mengangguk. Mengeluarkan suara membutuhkan banyak kekuatan yang
dirinya tak sanggup lakukan saat ini.
“Kamu
bikin aku kuatir.” Kata Hero lagi. Saat itu perawat sudah selesai mengecek
keadaan Revi. Lalu pamit untuk keluar. Diikuti oleh Mama dan Rei yang sudah
paham dengan suasana barusan. Nggak ingin mengganggu Hero dan Revi yang
sepertinya memang ingin ditinggalkan berdua.
“Ma-af.”
Suara Revi masih lemah. Hero mengangguk dan duduk di samping Revi.
“Kamu
mau makan?” tawarnya. Menunjukkan seloyang penuh makanan ala rumah sakit.
Revi
mengangguk.
Hero
bersiap menyendok untuk suapan pertama Revi sebelum Revi berhasil menghentikan
tangannya.
“Aku
bisa sendiri kok...”
“Kamu
nggak mau aku suapin?”
“Bukan
gitu...”
Hero
terdiam. Revi berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Hero yang melihat itu
langsung membantunya membuat tempat tidurnya dalam posisi setengah berdiri.
“Sudah
enak posisinya?”
Revi
mengangguk. Dia berusaha menggapai piring yang berisi nasi yang sudah setengah
halus. Hero mengambilkannya dan menaruh di atas meja makan kecil milik rumah
sakit.
“Kenapa
kamu nggak mau aku suapi?”
Revi
langsung menatap Hero. Mana mungkin sih
Ro aku nggak malu disuapi macam anak kecil gitu?
“Engga
pa-pa kok.” Jawab Revi. Melanjutkan makannya tenang. Sebenarnya lebih ke
berusaha tenang. Daritadi tangannya gemetaran memegang sendok.
“Kenapa
kamu menolak aku beri perhatian? Kamu nggak suka?” Hero mengamati tangan Revi
yang terus gemetaran.
“Bukan
Ro.” Revi mencoba nggak menghiraukan kata-kata Hero dan terus menikmati makanan
rumah sakitnya. Rasanya hambar.
Hero
menggenggam lengan Revi lembut.
“Biar
aku yang mengurus kamu ya? Kamu kan lagi sakit...” pinta Hero halus. Revi
merasa terpojok dan nggak punya alasan untuk menolak kebaikan Hero. Lagi. Dia
hanya menganggukkan kepalanya.
Hero
membantu Revi mengikat rambutnya yang kini mulai panjang. Kemudian menyuapi
Revi dan sekali-kali membantunya minum.
“Kamu
mau buah? Aku bawa apel.”
“Kenapa
kamu repot-repot gitu sih Ro?”
“Namanya
juga jenguk orang sakit. Kan aneh kalo aku nggak bawa apa-apa.”
Hero
lalu ingat sesuatu. “Aku nggak bawa pisau. Kayaknya aku harus minjem ke dapur
rumah sakit deh.”
Hero
merapikan tempat tidur Revi dan mengecek suhu tubuhnya sebelum dia pergi. “Aku
keluar sebentar ya. Kamu kabarin aja kalo ada apa-apa.” Hero menaruh hape Revi
dekat tempat tidurnya. Kemudian keluar.
Kenapa kamu sebaik ini sama aku Ro?
Aku kan bukan orang yang pantas buat kamu repot gini?
Hero
pamit sama Mama dan Rei. Meminta mereka berdua pulang saja karena Hero janji
mau menjaga Revi.
“Tapi
besok kan kamu sekolah Nak Hero.”
“Iya
Tante. Saya udah minta Pak Rinto untuk bawain baju ganti Hero kok. Mungkin
malem banget baru bisa dateng karena masih harus jemput Mama di kantor. Jam
segini sih biasanya masih macet di jalan.”
Mama
Revi mengangguk. Lalu setuju untuk menitipkan Revi pada Hero. Percuma untuk
melarang Hero, dia bakal keras kepala dan tetap ada di rumah sakit meski
Mamanya ada di rumah sakit untuk menjaga Revi juga. Makanya Mama Revi mengajak
Rei pulang karena besok dia harus pergi ke sekolah juga.
Hero
mencari letak dapur dan setelah susah payah ternyata dapur sudah tutup sejak
jam 7 malam. Mau nggak mau dia harus ke minimart di lantai bawah untuk mencari
pisau buah.
Setelah
menemukan yang dicari dan juga beberapa roti untuk makan malamnya yang nggak
sempet disiapkannya, Hero balik ke kamar. Ternyata di sana ada Dhika dan
beberapa teman klub yang sedang berkunjung. Hero urung masuk ke dalam. Bahkan
setelah semuanya kecuali Dhika keluar, Hero masih belum mau masuk ke ruangan
Revi.
Kenapa gue jadi pengecut gini?
“Kakak
udah bilang jangan memaksakan diri kan tadi di kelas. Sekarang kamu udah tepar
karena kecapekan. Makanya kalo diomongin orang yang lebih tua itu
didengerin...” Dhika mencubit pipi Revi gemas.
Revi
meringis dan mengelus-elus pipinya yang memerah.
“Kamu
udah makan? Ke mana Hero?”
“Ah,
udah kok ka. Heronya lagi nyari pisau buat motong buah. Nggak tahu juga udah
setengah jam kenapa nggak balik-balik ya?”
“Ooh..
ya udah. Kamu istirahat yang banyak. Belom-belom udah nggak masuk lagi kan
besok. Untung sabtu. Jadi masih ada Minggu buat istirahat lagi. Lain kali kalo
kamu gitu lagi kakak bakal cabut posisi kamu sebagai manager.”
“Iihh
kakak... kan nggak boleh gitu...”
Dhika
mengacak rambut Revi.
“Kakak
pamit dulu ya. Semoga cepet sehat lagi.” Kak Dhika menyalami Revi dan keluar.
Di
luar, dia bertemu dengan Hero yang sedang menunggu di bangku panjang dekat
resepsionis.
“Kamu
ngapain sih di sini?”
“Eh,
enggak.”
“Kamu
segitu nggak pengen ngegangguin aku kalo lagi sama Revi ya?” goda Dhika. Hero
menyeringai galak.
Dhika
duduk di sebelah Hero dan menatap banyak orang yang berlalu-lalang di koridor.
Sebentar lagi jadwal berkunjung akan ditutup.
“Jagain
dia. Buat aku.” Ujar Dhika entah karena apa.
Hero
diam. Melihat ke arah cowok yang sebentar lagi lulus ini dengan tatapan
bingung.
“Aku
udah nyerahin Revi gitu aja ke kamu. Mana jawabanmu?” tanyanya kemudian galak.
Menatap Hero tiba-tiba dan serius.
“Ah,
iya.”
“Jangan
sampe kejadian hari ini terulang lagi.” Pesan Dhika.
Hero
mengangguk. Masih dalam keadaan bingung karena entah kenapa Dhika bisa ngomong
begini padanya.
“Satu
hal lagi. Jangan bikin dia menangis.” Kali ini Dhika mengatakan itu dengan
wajah sedikit perih. “Jangan sampai dia merasakan kehilangan yang sama seperti
saat dia kehilangan Papanya.”
Hero
menjawab Ya pendek. Dan bangkit dari kursinya.
“Aku
nggak akan mengecewakan kakak.”
Lalu
Hero pamit meninggalkan Dhika dan kembali ke kamar Revi.
Dhika
melihatnya dengan perasaan lega.
“Semoga
kamu nggak mengecewakan Revi yang udah memilihmu.”
--o--
“Hero?
Udah balik?” Revi menyambutnya dengan senyuman.
“Setelah
dijenguk sama Dhika dan anak-anak klub kamu kelihatan sumringah banget.” Ujar
Hero. Meletakkan semua belanjaannya di rak dekat tempat tidur Revi.
“Hehe,
emang kelihatannya begitu ya?”
Hero
mengambil salah satu apel yang dibawanya dan mulai mengulitinya.
“Hero...”
panggil Revi.
Hero
tidak mengalihkan pandangannya dari apel yang dipeganginya.
“Terimakasih.”
Sebuah
lengkungan terbentuk di bibirnya. “Ya.”
Aku akan melakukan apapun untukmu
Rev. Apapun.
“Aa!”
perintah Hero pada Revi untuk membuka mulutnya. Revi menurut. Dan satu potong
apel mendarat lancar ke mulutnya.
“Enak?”
tanya Hero.
“Manis.
Seger..” kata Revi dengan mulut penuh apel. Susah untuk mengunyah. Hero tertawa
mendapati wajah Revi yang lucu.
Revi
merebut sepotong apel yang ada di tangan Hero.
Kemudian
menyuapkan kepada Hero.
Keduanya
saling bertukar senyum. Rasanya malam ini terasa hangat.
--o--
NB : From my long written story a rainbow after the rain. Ini jadi sequel tak diharapkan.
Tapi selalu menyenangkan membuat cerita dengan Revi dan Hero sebagai pemeran utamanya. Mereka yang terbaik! ^^
0 comments:
Post a Comment