Saturday, March 28, 2015

Fragment 1 : A Rainbow After The Rain (Sequel)


   




Hari ini Revi membawa bekal spesialnya untuk Hero. Sejak kepergian Papa tempo waktu, Revi akhirnya mendapatkan kekuatannya kembali untuk masuk ke sekolah. Walau pun pada akhirnya dia harus banyak mengejar ketinggalannya dengan meminjam cacatan, Revi melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh.
2 minggu lagi ujian akhir semester dilaksanakan. Dan lagi tugasnya di klub semenjak absen juga belum disentuh. Harus ekstra kerja keras karena Hero juga sedang sama sibuknya latihan untuk pertandingan liga basket tingkat nasional 2 bulan lagi.
“Kamu yakin masih mau ke klub? Bukannya Pak Setya bilang nggak perlu dipaksakan dulu kalau kamu belum bener-bener fit Rev?” tanya Dhika sanksi. Dia mengkhawatirkan Revi yang sepertinya terlalu memaksakan dirinya.
Revi menggeleng. Menangkis semua kecemasan Dhika dengan sebuah senyuman. “Aku nggak sakit kan kak, cuman agak syok aja kemaren-kemaren. Kejadiannya rasanya begitu cepat dan nggak sekalipun terbersit di pikiranku. Makanya aku agak down.” Revi membereskan semua catatan di meja. Melihat jam di tangannya, sudah jam 3.
“Tapi karena ada Hero, kak Dhika, juga teman-teman yang lain yang selalu support aku, rasanya nggak pantes kalo aku harus terus menerus berduka.”
Dhika mengelus kepala Revi. Dia jadi agak tenang.
“Hero cowok yang hebat ya. Bahkan dia...” Dhika tiba-tiba menghentikan perkataannya.
“Dia...?” Revi menuntut lanjutan.
“Ummm... maksud kakak dia rela melakukan semuanya buat kamu. Dia perhatian sama kamu.” Mendadak Dhika gugup.
Revi tersenyum senang.
“Ya. Aku harus banyak-banyak berterimakasih sama dia kan kak. Dia udah mau terus ada di samping aku waktu aku lagi down begini.
“Sebenarnya, kalian itu udah jadian belum sih?” tanya Dhika tiba-tiba ingin tahu.
Revi yang ditanyai begitu mendadak geragapan. “Eh, ja-ja-jadian kak?”
Dhika mengerutkan keningnya heran.
“Emangnya kakak salah tanya ya? Bukannya pertanyaan kakak wajar? Kalian kan deket, Hero juga perhatian sama kamu...”
“Tapi kak!” potong Revi tiba-tiba.
Dhika menatap Revi bingung.
“Tapi Hero punya seseorang yang dia sayang kok. Sampai sekarang dia masih sayang sama orang itu. Orang yang ada di masa lalunya dia.” Mendadak suara Revi berubah menjadi sedih. Dia menenggelamkan pikirannya entah kemana. Pandangannya kosong.
Dhika yang melihat itu malah ingin sedikit menggodanya.
“Ooh, Lyana?”
Revi terkejut.
“Da-darimana kakak tahu soal Lyana?”
“Ah, Hero pernah cerita beberapa waktu lalu. Kita ketemu nggak sengaja di Resto Abbe, dan dia ngenalin ke kakak. Cantik sih si Lyana.”
Revi mengangguk. “Cantik banget kak. Makanya...”
Dhika tersenyum penuh kemenangan. Sorry, Ro. Tapi gue juga sayang sama Revi. Jadi boleh dong kalo gue main api sedikit?
“Jadi Lyana itu yang kamu sebut sebagai seseorang yang Hero suka?” Dhika makin memojokkan.
“Iya.”
“Memangnya kamu yakin Hero masih sayang sama Lyana sampe sekarang?”
Belum sempat dijawab tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Hero dengan seragam basketnya masuk dan melihat Revi sedang ngobrol dengan Dhika berdua saja.
Peluhnya menetes karena sempat pemanasan dengan main 15 menit 3 on 3 sama anak-anak anggota klub tadi.
“Ah, maaf. Kirain nggak ada orang. Aku cuman mau ambil tas.” Katanya kemudian. Merasa ada yang aneh, Hero menghampiri Revi.
“Kamu nggak perlu memaksakan datang hari ini.” Hero menyentuh kening Revi, yang dengan segera ditepisnya.
“Aku nggak pa-pa kok. Kak Dhika, aku ke ruang klub duluan ya, 10 menit lagi aku langsung ke lapangan.” Revi cepat mengemasi tasnya dan berlari keluar dari kelas.
Hero yang merasa diacuhkan langsung mengangkat kerah baju Dhika.
“Kamu ngomong apa aja sama Revi?”
“Hey hey, selow, bro. Aku nggak ngomong apa-apa sama Revi kok. Justru Revi yang berfikir apa-apa soal kamu...”
Cengkeramannya dilepas.
“Maksudmu?”
“Dia pikir kamu sama Lyana itu masih ada apa-apa.”
“Hah?”
Dhika mengangkat bahunya.
“Mungkin udah saatnya kamu bilang ke dia soal hubunganmu dan Lyana. Dia udah terlalu lama menunggu. Itu juga kalau kamu beneran punya rasa sama dia.”
Hening sejenak menguasai.
“Aku beneran sa...”
“Nggak perlu ngomong padaku!” potong Dhika sebal. Ngerasa risih mendengar pernyataan Hero yang gamblang.
“Saat ini orang yang paling ingin mendengar itu cuman dia Ro. Kamu tahu betul hal itu.”
--o--
Revi membereskan ruangan klub yang lebih pantas disebut dengan kandang sapi dalam waktu kurang dari setengah jam. Dia nggak menyangka ruangan klub bakal separah itu hanya dalam waktu 3 hari sejak dia absen.
Dia baru akan beranjak keluar saat kemudian melihat Hero lewat jendela ruangan dengan agak tergesa.
Melihatnya berlari begini selalu bisa membuatku berdebar. Hero memang paling cocok jika mengenakan seragam basketnya dengan peluh membasahi tubuhnya. Setelah berfikir begitu dia segera menepuk kedua pipinya dan menggeleng. Ya ampun, kenapa pikiranku jadi kemana-mana.
Revi membuang sampah yang berhasil dikumpulkannya dan segera berlari ke warung depan sekolah untuk membeli minum buat anak-anak klub. Hari sudah makin sore dan matahari hampir terbenam waktu sampai ke lapangan.
“Wah, manager udah datang!”
“Gimana kabarnya Manager?”
“Asik, sekarang ada yang mobile lagi.”
Revi tersenyum melihat anak-anak klub yang selalu bersemangat saat dia kembali. Membagikan pokari yang dibelinya ke semua anak yang ada satu per satu. Kemudian bimbang waktu mau memberikan bagian Hero.
“Kenapa Rev?” tanya Dhika yang melihat ekspresi aneh Revi.
“Ehmm...”
“Sini kakak aja yang kasih ke Hero.” Dhika yang mengerti mencoba mengambil botol yang dipegang Revi.
“Eng, jangan kak. Aku aja.”
Dhika tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Revi.
Revi perlahan mendekat ke Hero yang sedang duduk di bangku dekat tangga. Pelatih sudah memperbolehkan sebagian untuk pulang sementara sebagian lagi masih dengan tugas rutin harian merapikan bola dan mengembalikannya ke ruangan klub.
Hero sedang melap keringatnya yang membuat seragam basketnya hampir seluruhnya basah.
Revi duduk di sampingnya. Tiba-tiba kaku untuk sekedar menyapa.
“Wah!” Hero berseru kaget melihat Revi sudah duduk di sampingnya. Revi yang juga kaget karena Hero tiba-tiba teriak hanya membalikkan badannya malu.
Hero tertawa. “Kukira ada penunggu sekolahan cewek yang tiba-tiba naksir padaku. Ingin pedekate.” Katanya lagi.
Revi ikut tersenyum. Kemudian dia menyerahkan minuman bagian klub dan satu kotak bekal.
“Ha? Apa ini?”
“Bekal.”
“Ha?”
“Bekal Hero! Tadi aku membuatnya di rumah. Baru sekarang aku bisa ngasih ke kamu.” Ujarnya yang tiba-tiba merasa malu.
Hero menerima.
“Ah iya. Itu isinya makanan panggang kok. Jadi rasanya nggak pa-pa walau kamu mau makan besok.” Jelas Revi tanpa diminta.
Hero menatap Revi lama, kemudian tersenyum.
“Mau makan bareng?”
“Enggak aku...”
Tiba-tiba suara perut keroncongan terdengar.
Revi ingin sekali menyembunyikan wajahnya kalau nggak Hero yang gigih mengajaknya duduk.
“Kamu terlalu serius nyalin catetan sih. Makanya pas istirahat nggak sempet makan.” Ujar Hero. Mencoba menenangkan Revi yang masih tersipu malu.
Hero menyuapkan schotel macaroni ke mulutnya. Kemudian mengunyah dengan tenang. Melihat Hero yang begitu menikmati masakan buatannya, tanpa sadar Revi tersenyum.
“Hah?” Revi terkejut karena Hero tiba-tiba menawarkan untuk menyuapinya dengan sendok yang sudah berada dekat dengan wajahnya.
“Enak. Aku suka.” Hero tersenyum. Memaksa Revi untuk ikut makan juga.
“Eh, tapi...”
“Ayo makan. Kamu kan lapar.”
Dengan ragu Revi menerima suapan Hero. Wajahnya jadi merah padam mengingat hal kecil yang dilakukan Hero barusan.
“Kenapa?” Hero menyentuh kening Revi sekali lagi.
Revi dengan sigap mengelak.
“Ah, aku harus ngunci pintu klub dulu.”
“Nanti aja.” Hero menarik tangan Revi. Membuatnya kembali duduk di sampingnya. “Lagian kamu baru makan sesendok.”
“A... aku kan bisa makan sendiri Hero.” Revi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Hero terkikik. “Kamu malu aku suapi?”
Revi nggak menjawab pertanyaan barusan dan mulai menyendok makanannya banyak-banyak. Dia mulai mengunyah dengan mulut penuh.
Hero memandang Revi dengan hangat. Pandangannya begitu tak bisa dialihkan dari cewek yang satu ini. Tanpa sadar dia mengecup kepala Revi yang kemudian menjatuhkan sendoknya karena terkejut.
Tatapan mereka bertemu. Hero nggak mengalihkan pandangannya. Revi saking terkejutnya nggak bereaksi. Lama. Hening. Hanya suara anak-anak ribut di ruang musik yang terdengar.
“Rev...” Hero hendak membuka suaranya saat Revi reflek menunduk untuk mengambil sendoknya yang jatuh.
“Ah, jadi kotor. Maaf. Aku... ke kamar mandi untuk nyuci ini dulu ya...”
“Rev!” Hero menahan Revi untuk kedua kalinya.
“Kenapa Ro?” suara Revi dibuat setenang mungkin. Padahal dalam hatinya gemuruh badai sedang menerjang kencang.
Hero melepaskan genggamannya.
“Kita pulang bareng ya. Aku tunggu di sini.” Katanya kemudian. “Dan nggak usah kuatir sama sendoknya. Aku pinjam sendok ibu kantin aja.” Hero tersenyum sambil mengemasi barangnya dan pergi menjauh.
Revi melangkahkan kakinya ke ruangan klub cepat. Dia masuk ke ruangan yang kini kosong itu dan menutup pintunya dari dalam. Bersandar di sana dan mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak tak menentu.
Revi masih merasakan kecupan kilat barusan.
Apa Hero sengaja melakukannya? Atau yang tadi itu cuman kebetulan karena aku begitu dekat lalu nggak sengaja kesentuh? Tapi... Revi menyentuh kepalanya. Rasanya begitu hangat dan entah kenapa aku yakin kalau kamu nggak melakukan itu karena nggak sengaja, Ro.
Jantungnya berdebar lagi. Revi frustasi dan mendekap dadanya erat.
Aahhh!! Kenapa rasanya begitu berat berada di sisi Hero saat aku sadar kalau aku suka sama dia?!
--o--
“Masih lapar Rev?” tanya Hero. Saat Revi kembali ke tempat janjian tadi. Sudah lengkap dengan jaket dan ranselnya.
Revi nggak segera menjawab. Meskipun dia nggak terlalu perduli soal perut, dia sadar kayaknya si Hero ingin mengajaknya jalan.
“Hei.” Hero mencondongkan wajahnya agar bisa melihat wajah Revi.
“Eh, ah... aku...”
Belum sempat bertanya, Revi sudah ambruk duluan.
Hero panik. Berkali-kali memanggil namanya namun yang Revi cuman terbaring lemas di dekapan. Beruntung Hero sigap dan langsung menangkap tubuh kecil Revi sebelum sempat terjatuh di lantai sekolah.
Revi berusaha membuka matanya namun usahanya sia-sia. Kepalanya pening. Badannya terasa begitu panas. Bayangan terakhir yang dia lihat adalah saat Hero berkali-kali memanggil namanya. Kemudian semuanya berubah gelap.
--o--
Revi terbangun dari tidurnya tepat saat suster mengecek keadaan tubuhnya. Ada Mama juga di sana. Ada Rei juga.
Revi masih berusaha mengerjab untuk melihat sekeliling lebih jelas sampai tangan kirinya merasakan genggaman erat.
“Kamu udah baikan?” tanya suara itu lembut. Hero.
Revi tersenyum dan mengangguk. Mengeluarkan suara membutuhkan banyak kekuatan yang dirinya tak sanggup lakukan saat ini.
“Kamu bikin aku kuatir.” Kata Hero lagi. Saat itu perawat sudah selesai mengecek keadaan Revi. Lalu pamit untuk keluar. Diikuti oleh Mama dan Rei yang sudah paham dengan suasana barusan. Nggak ingin mengganggu Hero dan Revi yang sepertinya memang ingin ditinggalkan berdua.
“Ma-af.” Suara Revi masih lemah. Hero mengangguk dan duduk di samping Revi.
“Kamu mau makan?” tawarnya. Menunjukkan seloyang penuh makanan ala rumah sakit.
Revi mengangguk.
Hero bersiap menyendok untuk suapan pertama Revi sebelum Revi berhasil menghentikan tangannya.
“Aku bisa sendiri kok...”
“Kamu nggak mau aku suapin?”
“Bukan gitu...”
Hero terdiam. Revi berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Hero yang melihat itu langsung membantunya membuat tempat tidurnya dalam posisi setengah berdiri.
“Sudah enak posisinya?”
Revi mengangguk. Dia berusaha menggapai piring yang berisi nasi yang sudah setengah halus. Hero mengambilkannya dan menaruh di atas meja makan kecil milik rumah sakit.
“Kenapa kamu nggak mau aku suapi?”
Revi langsung menatap Hero. Mana mungkin sih Ro aku nggak malu disuapi macam anak kecil gitu?
“Engga pa-pa kok.” Jawab Revi. Melanjutkan makannya tenang. Sebenarnya lebih ke berusaha tenang. Daritadi tangannya gemetaran memegang sendok.
“Kenapa kamu menolak aku beri perhatian? Kamu nggak suka?” Hero mengamati tangan Revi yang terus gemetaran.
“Bukan Ro.” Revi mencoba nggak menghiraukan kata-kata Hero dan terus menikmati makanan rumah sakitnya. Rasanya hambar.
Hero menggenggam lengan Revi lembut.
“Biar aku yang mengurus kamu ya? Kamu kan lagi sakit...” pinta Hero halus. Revi merasa terpojok dan nggak punya alasan untuk menolak kebaikan Hero. Lagi. Dia hanya menganggukkan kepalanya.
Hero membantu Revi mengikat rambutnya yang kini mulai panjang. Kemudian menyuapi Revi dan sekali-kali membantunya minum.
“Kamu mau buah? Aku bawa apel.”
“Kenapa kamu repot-repot gitu sih Ro?”
“Namanya juga jenguk orang sakit. Kan aneh kalo aku nggak bawa apa-apa.”
Hero lalu ingat sesuatu. “Aku nggak bawa pisau. Kayaknya aku harus minjem ke dapur rumah sakit deh.”
Hero merapikan tempat tidur Revi dan mengecek suhu tubuhnya sebelum dia pergi. “Aku keluar sebentar ya. Kamu kabarin aja kalo ada apa-apa.” Hero menaruh hape Revi dekat tempat tidurnya. Kemudian keluar.
Kenapa kamu sebaik ini sama aku Ro? Aku kan bukan orang yang pantas buat kamu repot gini?
Hero pamit sama Mama dan Rei. Meminta mereka berdua pulang saja karena Hero janji mau menjaga Revi.
“Tapi besok kan kamu sekolah Nak Hero.”
“Iya Tante. Saya udah minta Pak Rinto untuk bawain baju ganti Hero kok. Mungkin malem banget baru bisa dateng karena masih harus jemput Mama di kantor. Jam segini sih biasanya masih macet di jalan.”
Mama Revi mengangguk. Lalu setuju untuk menitipkan Revi pada Hero. Percuma untuk melarang Hero, dia bakal keras kepala dan tetap ada di rumah sakit meski Mamanya ada di rumah sakit untuk menjaga Revi juga. Makanya Mama Revi mengajak Rei pulang karena besok dia harus pergi ke sekolah juga.
Hero mencari letak dapur dan setelah susah payah ternyata dapur sudah tutup sejak jam 7 malam. Mau nggak mau dia harus ke minimart di lantai bawah untuk mencari pisau buah.
Setelah menemukan yang dicari dan juga beberapa roti untuk makan malamnya yang nggak sempet disiapkannya, Hero balik ke kamar. Ternyata di sana ada Dhika dan beberapa teman klub yang sedang berkunjung. Hero urung masuk ke dalam. Bahkan setelah semuanya kecuali Dhika keluar, Hero masih belum mau masuk ke ruangan Revi.
Kenapa gue jadi pengecut gini?
“Kakak udah bilang jangan memaksakan diri kan tadi di kelas. Sekarang kamu udah tepar karena kecapekan. Makanya kalo diomongin orang yang lebih tua itu didengerin...” Dhika mencubit pipi Revi gemas.
Revi meringis dan mengelus-elus pipinya yang memerah.
“Kamu udah makan? Ke mana Hero?”
“Ah, udah kok ka. Heronya lagi nyari pisau buat motong buah. Nggak tahu juga udah setengah jam kenapa nggak balik-balik ya?”
“Ooh.. ya udah. Kamu istirahat yang banyak. Belom-belom udah nggak masuk lagi kan besok. Untung sabtu. Jadi masih ada Minggu buat istirahat lagi. Lain kali kalo kamu gitu lagi kakak bakal cabut posisi kamu sebagai manager.”
“Iihh kakak... kan nggak boleh gitu...”
Dhika mengacak rambut Revi.
“Kakak pamit dulu ya. Semoga cepet sehat lagi.” Kak Dhika menyalami Revi dan keluar.
Di luar, dia bertemu dengan Hero yang sedang menunggu di bangku panjang dekat resepsionis.
“Kamu ngapain sih di sini?”
“Eh, enggak.”
“Kamu segitu nggak pengen ngegangguin aku kalo lagi sama Revi ya?” goda Dhika. Hero menyeringai galak.
Dhika duduk di sebelah Hero dan menatap banyak orang yang berlalu-lalang di koridor. Sebentar lagi jadwal berkunjung akan ditutup.
“Jagain dia. Buat aku.” Ujar Dhika entah karena apa.
Hero diam. Melihat ke arah cowok yang sebentar lagi lulus ini dengan tatapan bingung.
“Aku udah nyerahin Revi gitu aja ke kamu. Mana jawabanmu?” tanyanya kemudian galak. Menatap Hero tiba-tiba dan serius.
“Ah, iya.”
“Jangan sampe kejadian hari ini terulang lagi.” Pesan Dhika.
Hero mengangguk. Masih dalam keadaan bingung karena entah kenapa Dhika bisa ngomong begini padanya.
“Satu hal lagi. Jangan bikin dia menangis.” Kali ini Dhika mengatakan itu dengan wajah sedikit perih. “Jangan sampai dia merasakan kehilangan yang sama seperti saat dia kehilangan Papanya.”
Hero menjawab Ya pendek. Dan bangkit dari kursinya.
“Aku nggak akan mengecewakan kakak.”
Lalu Hero pamit meninggalkan Dhika dan kembali ke kamar Revi.
Dhika melihatnya dengan perasaan lega.
“Semoga kamu nggak mengecewakan Revi yang udah memilihmu.”
--o--
“Hero? Udah balik?” Revi menyambutnya dengan senyuman.
“Setelah dijenguk sama Dhika dan anak-anak klub kamu kelihatan sumringah banget.” Ujar Hero. Meletakkan semua belanjaannya di rak dekat tempat tidur Revi.
“Hehe, emang kelihatannya begitu ya?”
Hero mengambil salah satu apel yang dibawanya dan mulai mengulitinya.
“Hero...” panggil Revi.
Hero tidak mengalihkan pandangannya dari apel yang dipeganginya.
“Terimakasih.”
Sebuah lengkungan terbentuk di bibirnya. “Ya.”
Aku akan melakukan apapun untukmu Rev. Apapun.
“Aa!” perintah Hero pada Revi untuk membuka mulutnya. Revi menurut. Dan satu potong apel mendarat lancar ke mulutnya.
“Enak?” tanya Hero.
“Manis. Seger..” kata Revi dengan mulut penuh apel. Susah untuk mengunyah. Hero tertawa mendapati wajah Revi yang lucu.
Revi merebut sepotong apel yang ada di tangan Hero.
Kemudian menyuapkan kepada Hero.
Keduanya saling bertukar senyum. Rasanya malam ini terasa hangat.
--o--

NB : From my long written story a rainbow after the rain. Ini jadi sequel tak diharapkan.
Tapi selalu menyenangkan membuat cerita dengan Revi dan Hero sebagai pemeran utamanya. Mereka yang terbaik! ^^

0 comments:

Post a Comment

 
;