Selepas pulang, Rena langsung diseret ke SOS. Cafe biasa mereka. Belum-belum kedua orang yang membawanya itu menuntut penjelasan.
“Engga ada apa-apa kok sama kita. Yakin deh. Kita juga baru ngobrol sekali.” Jawab Rena gugup. Kan emang nggak ada apa-apa?
“Kalian udah pernah ngobrol? Dimana? Kapan?” tanya Hana. “Eh tunggu, itu artinya Tama cowok pertama yang ngobrol sama lu dong?”
Rena menggeleng. “Kan ada Bagas, Rio.”
Jia mengelak, “Kamu ngobrol sama mereka kan urusan tugas negara. Tapi apa yang bikin kamu sama Tama ngobrol? Since then, how much both of you talking behind us?” tanya Jia suspicious.
Rena menggeleng lagi. “Kita cuman pernah ngobrol. Sekali. Udah gitu aja. Dan kita belom ngobrol apa-apa lagi sejak itu.”
“Sekali tapi rasanya begitu special ya...” Jia dan Hana mulai menggoda temannya yang pemalu itu.
Rena diam saja sambil pura-pura menghabiskan ice capicinno miliknya.
“Well then, we hope something good happen between both of you.” Kali ini Jia berkata disertai doa. Tulus.
“Kita bener-bener pengen lihat kamu bahagia Na. And diatas segalanya, Tama bukan pilihan yang buruk.” Kata Hana sambil menyendokkan potongan sirloin steak ke mulutnya.
--
Bukan pilihan buruk? Batin Rena lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Hari ini fikirannya kurang fokus. Tugas membersihkan lab menjadi pekerjaan berat ditambah teman satu kelompoknya, Dimas dan Putra seperti kebiasaanya, kabur lebih dulu.
“Loh, kamu masih disini? Bukannya sebentar lagi pelajaran olahraga?” seseorang menyapanya dengan suara yang berhasil membuat Rena menoleh.
Tama melihat pekerjaan yang masih bertumpuk di tempat cuci.
“Aku bantu ya.” Ujarnya enteng.
“Lagi?”
“Apa maksudnya lagi?”
“Kamu kan udah nolong aku waktu itu...”
“Haha, anggap aja waktu itu buat ganti karena kamu udah mau cerita-cerita soal masa lalu kamu.”
Jadi curhatan berhargaku cuman dituker sama ngangkatin buku ke perpus doang? Batin Rena agak geli.