Thursday, April 3, 2014

Believe Me - Believe Me Not

Lena menutup bukunya kesel. Sudah tepat dua bulan cowo yang dia pikir sayang padanya itu tidak ada kabar. 2 bulan! Ya, memang bukan waktu yang cukup lama untuk menunggu tapi waktu yang lama untuk didiamkan tanpa kepastian.

Terakhir dia mendapat sms dari orang yang masih dia anggap pacar itu menyatakan kalau dia butuh waktu. Butuh waktu buat apa? Helloowww??? Dia pikir butuh waktu bisa menjelaskan semuanya? Dan esoknya dia sudah menghilang. Entah sudah berapa ratus kali dia mencoba menelpon, sms, wa, dan semua sosmed ia coba hubungi, tetap saja, nggak ada yang digubris. Rasanya jadi seperti terbuang dalam rasa yang tak pasti. Diputuskan tidak, lanjut juga entah. Done! Dia sedang digantungkan.


Dia melihat layar handphonenya lagi. Melihat nama yang sama, Rolan. Dia sudah hampir menitikkan air mata kalau tidak sahabatnya datang. Cepat dia memasang tampang memelas.

"Lo pasti mikirin Rolan lagi." tebaknya jitu. Sudah kayak cenayang.
"Udah dua bulan Met. Dan dia nggak ngehubungi gue barang sekali. Dihubungi juga ga respon. Gue ga tau salah gue apa..."
"Salah lo terlalu sayang sama dia Lenata Sudibyo." balas Meta judes. "Lagian uda tau cowok bejat masi dimainin aja. Yang baik aja banyak. Lo maunya sama cowok kaya gitu. Ya gimana."
"Rolan nggak kayak yang kamu bilang Meta. Dia baik. Perhatian. Romantis."
"Well, just live on the fairy tale again." desah Meta kesal. Sudah ratusan kali sahabatnya membela Rolan. Ya apa mau dikata, mereka pacaran. Walau Meta selalu mendengar kisah mereka dari sisi Lena saja.
"Bisa nggak sih kamu sedikit berpikiran positif Met? Rolan isn't a guy like what you've always think of. Come on Met. At least I wanna hear something good from my best friend."
Meta menghembuskan nafas panjang.
"What do you want? You want me to tell lies? "
Tapi melihat wajah Lena yang makin kusut, Meta tak tahan juga.
"Oke fine. Just pretend you're right and Rolan is a good guy. And he will never betrayed you. Never." katanya kemudian membawa senyum di wajah Lena.


Terlalu berharap itu nggak baik. Begitulah pikir gue. Orang yang terlalu percaya pada orang lain itu naif. Dan faktanya lebih banyak yang akhirnya menyesal atau kecewa dibanding mereka yang puas dan bahagia. Itu rumus kehidupan. Kalau memang dia begitu bisa dipercaya, kenapa dia masih bisa mengkhianati? Bukannya kepercayaan pada akhirnya kalah dengan kenyataan? Dan pengkhianatan akan jauh lebih sakit dibanding apapun.

Itu yang gue tahu. Seenggaknya yang gue percaya sampai gue hidup sekarang. Nggak ada gunanya , menaruh kepercayaan pada seseorang yang kelak akan menghianati kita. Nggak ada gunanya berharap sesuatu yang tidak pasti. Karena jika kita terlalu berharap banyak pada seseorang, semakin sakit kita nanti jika ia tak sesuai dengan keinginan kita.

Gue udah lama sadar hal itu. Berawal ketika sejak kecil gue ditinggal kedua orang tua gue, gue udah tahu kalo mempercayai seseorang itu percuma. Yang mereka lakukan justru malah sebaliknya. Membuat kepercayaan runtuh dan balik membenci. Seorang anak kecil memang mungkin akan lupa pada apa yang dijanjikan kedua orangtuanya kemarin. Tapi akan terpatri dalam ingatan mereka suatu saat bahwa mereka bisa melakukan hal itu kepada orang lain. Kepada generasi selanjutnya. Generasi yang penuh kebohongan dan penghiatanan.

"Nggak semua orang begitu,  Meta." lagi-lagi sikap optimisnya Lena ini ingin membunuhku.
Selalu begitu. Itu yang orang lain ingin dengar dan apa yang ingin mereka percayai. Bahwa memang manusia diciptakan berbeda dan pasti ada orang yang tidak begitu. Tapi seberapa banyak? Seberapa persen orang yang selalu tepat janji dan tidak ingkar? Apakah prosentase ini melebihi orang yang suka ingkar janji? Bahkan belum ada penelitian tentang itu dan manusia optimis ini men-judge bahwa tidak semuanya begitu.

Kepalaku pening. Sudah terbiasa dengan kesendirian membuatku berpikir tentang banyak hal. Tentang sifat manusia, ego, rasa, cinta, semua. Dan mungkin karena pengaruh tak ada yang memberi hal positif padaku sejak lama, aku tumbuh jadi anak egois yang selalu negatif thinking.

Bagaimana endingnya soal Lena dan Rolan tentu bukan urusanku. Yang aku tahu Rolan suka jalan dengan banyak cewek dan dia suka pada setiap cewek manis yang dia temui. Dari dulu hobinya ganti-ganti pacar dan php in anak orang.

Anehnya, baru sekarang rasanya dia betah dengan satu orang, Lena. Karena dulu setahuku, dia paling lama icip-icip cewek sekitar 2-3 bulan. Sisanya? Jangan tanya. TTM juga sudah merasa beruntung.

Tapi perjalanan cintanya seperti berhenti pada Lena. Sudah setahun mereka bersama dan belum ada tanda-tanda mau bubaran. Entah karena Rolan sudah bosan main-main, atau Lena tipe cewek yang ideal baginya, no idea. Not my damn business too. Walau yaa, kadang gue masih suka mergokin dia jalan bareng cewek lain di mall, tapi belum pernah rasanya mereka berantem sampai salah satu bilang kata putus.

Hapeku berkedip-kedip. Cuma sms dari Lena. Ada apa?

Rolan ngajak gue putus, T_T

Nah, see? Baru juga tadi gue cerita bejatnya Rolan, akhirnya kejadian juga. Nggak ada hal positif yang tersisa sama cowok satu itu. Salah sendiri memilih percaya. Salah sendiri memilih tetap menunggu walau tau akhirnya bakal dihianati juga. Huff, masalah ini harusnya udah kelar kan?

Nah, apa gue bilang.

Balasan gue singkat saja. Biar dia paham maksud gue dari awal kalo hal semacam ini bakal kejadian juga. Beberapa saat kemudian dia sms lagi. Gue harap smsnya kali ini merengek bilang 'Lo bener Met!' atau 'Rolan is a badass' atau makian lain.

Waktu gue buka smsnya Lena sambil menyiapkan senyuman terbaik gue, tiba-tiba dunia berputar. Bahkan gue nggak nyangka mata gue saking melototnya ke hape mungkin sudah mau keluar. Gue baca lagi. Dia nggak lagi ngelindur kan? Atau gue yang salah baca?

Seketika dunia gue runtuh. Apa yang gue percayai ternyata hanya sampah. Ke mana larinya penghianatan itu? Kemana ketidakpercayaan itu menghilang? Apakah benar manusia diciptakan hanya untuk saling menghianati?

Gue nggak langsung membalas sms Lena. Bahkan smsnya yang masuk selanjutnya sudah nggak gue gubris. Gue lupa kalo dunia itu indah karena satu hal itu. Satu hal yang membuat batu menjadi permata, membuat benang menjadi sutra. Satu hal yang harus dimiliki manusia untuk mencapai bahagianya. Yaitu harapan.

Harapan itu yang akan tumbuh menjadi kebahagiaan. Dan harapan itu tak kan tumbuh,  tanpa ada benih kepercayaan.

Anak-anak mungkin akan tumbuh tanpa sadar mereka telah dihianati oleh kedua orangtuanya. Orangtua yang menjanjikan sesuatu hari ini, dan akan mudah melupakannya esok hari. Tapi karena janji tersebut si anak tumbuh dengan harapan. Yang bila dia melakukan hal baik sekarang, tentu dia akan mendapatkan yang terbaik esok. Dan anak-anak polos itu mempercayai hal tersebut. Dan mereka tumbuh besar dengan kesadaran akan harapan di setiap langkahnya.

Ah, betapa bodohnya aku melihat hidup selama ini. Hal ini sama sekali di luar pemikiranku. Kepalaku makin pening. Mungkin sudah saatnya aku berhenti berpikir. Dan berhenti mempercayai apa yang aku percayai. Biarkan mulai sekarang aku menghianati diri sendiri dengan mencoba mencari makna kepercayaan itu. Makna harapan.

From : Lena
Aku sudah berhenti jadi pacarnya, Meta.
Hari ini Rolan melamarku. :)

0 comments:

Post a Comment

 
;