Cinta itu tak mengharap balasan. Ia hanya cukup dengan kata cinta. Membahagiakan tanpa perlu ditambah-tambahi dengan yang lainnya.
Setidaknya itu yang kupelajari. Itu yang aku tahu. Bahwa seseorang dapat bahagia bila melihat seseorang yang dia sayang berbahagia bersama yang lain, walau bukan dirinya. Ya, sesederhana itu.
Aku melangkahkan kaki ke rumah Alfa. Hari ini dia mengajak untuk jalan bareng sekedar makan-makan. Lama nggak ketemu, katanya. Sekalian curhat mungkin, entahlah. Biasanya alasan makan-makan ini benar-benar untuk sesuatu seperti dia butuh seseorang di sisinya. Dan bingo! Cuman aku yang bisa ada disana in less than 10 minutes. God thats why I felt sorry that I am his neighbor.
"Ada apa?" tanyaku langsung tanpa perlu berbasa-basi.
"Hey slow down baby girl. You can catch your breath first." balasnya sambil memberikan sekaleng cola dingin.
"Just skip it baby bro. I knew you were in trouble."
Alfa tertawa renyah.
"Yakin nggak mau makan di luar dulu? My treat?"
Aku melihat jam tanganku, sudah jam 9 malam. Kalau saja ortuku seperti ortunya yang jarang di rumah, aku sama sekali nggak keberatan untuk pulang malam tiap hari. But, no.
"Rena kenapa?" kali ini serius. Aku sudah menghabiskan 5 menit untuk melihatnya mondar mandir nggak karuan sejak tadi. Dan aku nggak punya waktu banyak untuk basa-basi lagi.
"Dia minta aku cepat ngelamar."
Aku membelalakkan mata nggak percaya. Bocah kemaren sore itu? Minta cepet dilamar? Rasanya pengen aku melempar ktpku ke mukanya, "Look who's older here?"
Tapi aku cepat menguasai pikiranku.
"Isn't that great? She already trust you. Dan kalau nggak salah, beberapa bulan yang lalu kamu juga ingin hal yang sama kan. Me-la-mar dia?" kataku dengan menggerak-gerakkan tanganku membentuk V untuk intonasi tertentu.
Alfa tertawa miris.
"Yea, that's why I call you here."
"Ha?"
"Because sorry I'll get married faster that you do." katanya sambil tertawa terbahak.
That's mean! I know. Tapi melihat dia segar dan ceria begini membuatku mau nggak mau ikut tertawa.
"Damn! Kupikir kau bakal bagaimana."
Aku lekas menuju pintu keluar.
"Hey, mau kemana?"
"I don't want to bother you and your marriage preparation. So, just let me go." aku membanting pintu pura-pura kesal. Dari luar, aku mendengar Alfa tertawa lagi, dan mengucapkan entah apa biar aku kembali. Tapi pikiranku terlalu sibuk walau hanya untuk berfikir ulang. Duniaku runtuh hari ini.
Cinta tak mengharapkan balasan.
Pun ketika cinta itu datang tanpa diundang, dia tetap datang dengan sifat egoisnya. Mau tak mau, rasa mengalahkan logika. Kemudian menyalahkan nasib. Why you have to love someone who couldn't love you back? Kenapa di antara sekian banyak orang yang aku temui, cinta memilih kepada hati yang tak bisa kumiliki? Kenapa?
Aku melempar batu kesekian kalinya ke sungai. Satu-satunya cara kupilih untuk meredakan emosi entah apa itu yang sekarang berkecamuk dalam hatiku.
Aku bukan seorang yang cengeng dan lemah. Sekesal apapun aku pada sesuatu, even if it goes really wrong, aku nggak akan pernah menumpahkan airmata ku. Anggap saja aku anti dianggap demikian. Cengeng, lemah, bla bla bla.
Rena and Alfa is a perfect couple together. I couldn't deny that. Couple that hardly found yelling or mad at each other. Though hardly to spend their time too, but really believe on each other.
Everyone adore them. And since I am their romance consultant, I always be their fans too. Mereka seperti tipe pasangan ideal yang akan menjadi idaman semua orang. Tipe yang sulit ditemui sekarang karena kebanyakan pasangan lebih menonjolkan ego dan rasa sementara yang begitu berlebihan. Hanya pakai hati dan nggak pakai otak. Begitulah asumsiku.
Dan seharusnya kabar Rena ingin dilamar itu menjadi salah satu berita baik untukku. Since I am their best buddy too. Tapi masih saja, hal ini menjadi semakin sulit karena sudah lama aku memendam rasa untuk Alfa.
Ya. He is my best friend since elementary level. And I've been in love with him for like, forever. I know I should pity my self, but I can't do nothing about it, can I?
Dan Alfa melabuhkan hatinya kepada Rena yang entah kenapa 'nembak' duluan waktu mereka ketemu di organisasi kuliah. Nggak bisa menolak tentunya, Rena yang one package to be ideal wife langsung diterima tanpa basa-basi. Rena yang lugu dan manis waktu awal pertemuan, menjadi semakin sempurna seiring berjalannya waktu. Meninggalkan kesan mereka berbeda 4 tahun dan aku yang namanya semakin dilupakan oleh jaman.
Mau tak mau perkenalannya dengan Alfa membawa dia padaku juga. Kita mulai berkenalan dan sharing moment together. She used to be my friend and my little sister. Aku yang lebih tua sering jadi sasaran curhatnya. Alasan itu juga yang membuat Alfa ikut-ikutan curhat padaku. Setiap ada hal apapun, mereka selalu cerita dari dua sisi yang berbeda. Membuat otakku over load karena dituntut memberi solusi yang menyenangkan semua pihak.
Dan masa pacaran mereka berjalan hampir 4 tahun. Itu berarti aku sudah hampir 4 tahun juga menjadi mentor percintaan mereka, walau jujur, rasanya seperti menyakiti diri sendiri. Mau bagaimana? Aku orang yang terlalu baik walau untuk sekedar berkata tidak.
Rena 22, Alfa 26. Usia yang sangat ideal untuk membangun rumah tangga muda. Apalagi sekarang Alfa sudah naik pangkat assistant manager di kantornya. Way to go to manager, bos! Yang dengan usia yang sama aku masih duduk anteng di belakang meja sebagai teller suatu bank. Irony!
Nothing wrong with that. Nothing. Sibuk aku menggalau sampai nggak memperhatikan hp yang sejak tadi aku silent berkedip minta perhatian. 5 missed call. Rena.
Apa? Jadi dia sudah melamarmu dan kamu mau pamer cincin tunangan? Cih. Pikiran buruk mulai menguasai.
Tak tahan dengan hp yang terus berkedip akhirnya aku jengah dan menerimanya.
"Ya?"
"Ka Irma, kakak dimana?"
Belum juga sempat menjawab pertanyaannya, aku sudah diberondong lagi.
"Ka, cepat ke rumah sakit ya, Mas Alfa kecelakaan." kata-kata barusan membuatku bingung. Apa aku salah dengar?
"Ka? Kakak dengar kan?"
Aku sudah tak memperhatikan sekitar dan langsung mematikan handphone ku. Setengah sadar aku berlari dan cepat mengambil motorku menuju rumah sakit.
Alfa perlahan membuka matanya. Genggamannya makin kuat.
"Irma." katanya pelan.
"Kamu ini kenapa sih? You should care about yourself more! Makanya pake seat belt! Untung masih selamat. Kalau kamu..." aku nggak melanjutkan kata-kataku. Air mataku mulai merembes ke pipi.
Melihat itu Alfa tersenyum.
"Aku masih hidup, Ma. Sudah, jangan nangis!" lalu dia memelukku.
Memang lukanya nggak begitu parah. Hanya lecet dan luka di kaki. Tak ada patah atau retak di tulang.
Dipeluk begitu perasaanku makin kacau. Semuanya jadi bercampur-baur tak karuan. Perasaanku. Aku sudah lupa bagaimana perasaanku.
"Dari dulu kamu selalu aja bersikap bodoh. Jatuh dari pohon, jatuh ke parit, belum terserempet angkutan. Kamu pikir kamu punya nyawa cadangan apa?" selorohku kesal.
"Dan dari dulu kamu juga sama. Selalu saja menangis tiap aku lecet, walau sedikit saja."
"Aku nggak berubah. Sama seperti kamu yang nggak berubah! Selalu bikin orang jantungan." kali ini dia tertawa pelan.
Setelah tangisku agak reda, aku melihatnya dan tersenyum.
"Kau benar-benar beruntung memiliki seseorang seperti Rena. Dia benar-benar baik. Dia tadi mempersilahkan aku masuk duluan karena tahu aku sudah hampir menangis." lalu aku tertawa. Dia hanya tersenyum.
"Jangan lakukan hal bodoh lagi. Kasihan dia kalau harus mengurusmu setiap hari. Belum tingkah bodohmu."
Aku melangkahkan kaki keluar.
"Mau kemana?"
"Keluar lah, kasihan Rena yang menunggumu sejak tadi belum menemuimu juga. Lagipula dia kan yang bakal menemanimu setiap hari mulai sekarang."
Aku lega dia baik-baik saja. Aku lega dia punya seseorang seperti Rena yang ada di sisinya. Biarkan perasaan ini jadi milikku sendiri. Biar saja hanya aku yang tahu. Karena cinta terkadang tak mengharapkankan balasan. Dia juga tak perlu tahu bahwa aku mencintainya. Sesederhana itu.
Selalu ada dua sisi berbeda dalam satu cerita. Entah bagaimana harus aku ceritakan, tapi aku berusaha sebaik mungkin untuk menjelaskannya. Dia seseorang yang selalu ada untukku sejak dulu. Menemani hariku yang kesepian. Selalu mendengarkan tiap aku bercerita tentang apa saja. Bahkan hampir setiap waktu aku mencoba mencari bahan pembicaraan untuk menarik perhatiannya.
Ya, Irma. Mungkin aku sudah jatuh cinta padanya sejak dulu. A love from a childhood friend. A simple love as I always want you to be happy. Even if only a simple smile.
Tapi sejak dulu aku selalu membuatnya menangis, bukannya bahagia. Setiap kali ingin bersikap heroik entah kenapa selalu berakhir tidak baik. Dan itu yang membuat dia kesal setiap kali terjadi sesuatu padaku.
I wish I could really tell my feeling to her.
I end up dating Rena, because I don't know how to reject her. She is nice and perfect, and every man in town really batch an eye for her. She's darling. And that's how all this stupid things happened.
Dia menginginkan aku menikahinya. Dan itu jadi titik balik terbesar dalam hidupku. Baru sadarku kalau selama ini yang kubutuhkan bukan dia, tapi Irma. Seharusnya dia yang kupilih, bukan orang yang sempurna seperti Rena.
And that's when all the shits happened today. I barely say that I want to make this things right. I want to say my true feeling to Irma. Aku terlalu tergesa-gesa sampai lupa segalanya. Dan ketika aku sadar, seseorang yang ingin aku temui itu duduk di sampingku, menggenggam erat tanganku.
Yes, my feeling has never changed. Begitu senangnya aku waktu dia ada di pelukanku dan menyatakan betapa dia sangat khawatir tentang keadaanku.
Sampai kata-katanya juga yang menghempaskan aku kembali ke bumi. Bahwa ada seseorang di luar sana yang begitu memperhatikanku. Seseorang yang sempurna yang mau menerimaku apa adanya. Seseorang yang tanpa aku minta selalu ada di sisiku dan memperhatikanku. Seseorang yang kuhianati hatinya dengan mencintai gadis lain. Seseorang yang mencintaiku tanpa perlu mengharapkan balasan apa-apa dariku.
Aku merasa begitu hina.
So when the door opens up and I see that face smiling so warm towards me, my life has changed. Aku akan membahagiakan seseorang ini semampuku. Karena dia sudah berkorban banyak untukku.
End.
0 comments:
Post a Comment