Kuingin kau ada bersamaku. Selalu di
sampingku. Sampai kita sendiri lupa bagaimana caranya untuk berpisah.
Nizi memejamkan matanya. Langit hari ini
penuh dengan bintang. Malam yang indah di antara hari-hari yang kelabu
akhir-akhir ini. Malam yang biasanya dia habiskan bersama dengan seseorang yang
begitu berarti baginya. Bahkan gemerlap bintang gemintang tak dapat menutup
luka yang tengah menganga di hatinya. Keindahan langit malam di Bandung kali
ini, malah membawa pikirannya melayang jauh, membelah dimensi dan mengumpulkan
kembali serpih sakit yang begitu ingin dia lupakan belakangan ini.
Kenapa kamu harus meninggalkan aku Bi?
Pertanyaan itu berulang dan terus
berputar di otaknya. Kian menggema. Kian jelas. Kian menambah kesepian itu.
Kamu ingkar janji Biaz.
Kata-kata itu terlontar keluar dari
pikirannya. Kemudian Nizi menggeleng kuat-kuat. Berusaha menekan nyeri yang
menjalar di dada. Setetes air sebening kristas menguar dari ujung matanya.
Maaf ya Bi. Ternyata aku memang nggak
sekuat itu.
Tetesan lain berhamburan. Kali ini
bekerjaran seperti hujan yang rintik membasahi bumi.
Nizi menelungkupkan kepalanya. Tangisan
yang sudah berhari-hari. Bahkan berminggu-minggu ia tahan itu, akhirnya
mengalir lagi. Sama derasnya waktu seseorang yang dia rencanakan untuk
menghabiskan banyak waktunya di masa depan pergi. Meninggalkan hatinya yang
porak poranda penuh derita.
==
Biaz.
Laki-laki seumuran yang sudah lama
kukenal ini selalu menyambutku dengan senyumnya yang hangat sehangat mentari
pagi. Walau aku sering kali membuatnya kena masalah karena ulahku, entah kenapa
senyum itu selalu melekat di sana. Senyum yang selalu aku tunggu di setiap pagi
saat berangkat sekolah. Senyum yang membuatku selalu bertahan di masa-masa
sulit yang aku alami. Senyum yang menyadarkanku aku memiliki seseorang seperti
dia yang selalu ada di sisiku.
Bahkan di hari terberatku. Saat setumpuk
kerjaan klien menumpuk dan harus lembur mati-matian di kantor tiap malam,
mengorbankan malam Minggu untuk kerja tidak seperti pasangan selayaknya, senyum
itu juga yang menguatkanku untuk bertahan. Senyum yang membawa semangatku
bangkit dari titik 0 penghabisan. Hanya dengan senyumnya, Biaz mampu membawa
duniaku seringan ini. Membuat semua yang aku lalui tak berarti.
Apa jadinya aku tanpa senyummu ini, Bi?
==
"Mau aku temani lembur?"
tawarnya. Aku ingin sekali mengangguk. Tapi rasanya kebaikannya selama ini
sudah terlalu banyak untukku.
"Setengah jam lagi selesai kok,
Bi." aku menolak pelan.
"Kalau begitu aku bawakan coklat
panas kesukaan kamu ya."
Tanpa kujawab dia pasti langsung
menghilang ke ruang pantry. Hingga beberapa menit kemudian muncul dengan
membawa coklat panas favoritku.
Aku hanya bisa berterimakasih.
Juga saat ternyata setengah jam kemudian
dia masih menunggu dan meminta pulang bersama. Tanpa pernah aku minta, dia
selalu sebaik ini. Perhatian yang dia curahkan menjadi anugrah terbesar dalam
hidupku 15 tahun belakangan.
Haah.. Ternyata sudah begitu lama ya
kita mengenal satu sama lain Bi? Apa yang tak kamu ketahui tentangku Bi? Apa
yang aku tak tahu tentangmu? Sepertinya jawabannya tak ada. Tidak ada yang
pernah kita sembunyikan. Karena kita sudah terbiasa menceritakan segalanya satu
sama lain.
==
Tapi bagaimana mungkin aku bisa seteledor
ini? Aku bahkan tidak tahu ada sesuatu yang kamu rahasiakan. Ada sesuatu yang
kamu pendam dalam dan tak ingin aku mengetahuinya. Kenapa kamu bisa setega ini
Bi? Kita sudah saling mengenal selama 15 tahun! Apakah ada artinya waktu selama
itu untukmu?
"Sayang, masuklah. Nanti kamu masuk
angin." tegur wanita cantik separuh baya dari depan pintu.
Nizi menengok dan memberi senyuman.
"Sebentar lagi ya, Ma."
Wanita tadi mengangguk dan meninggalkan
Nizi sendiri dengan maklum.
Nizi menengadahkan wajahnya ke langit.
Kamu ingat apa kata-kata yang kamu
ucapkan padaku saat pertama kali kita lulus SMA, Bi?
==
"Aku berharap kebersamaan kita ini
tak berujung waktu. Aku ingin selalu bersama dan menemanimu. Dalam segala
situasi dan kondisi. Aku ingin terus bersama denganmu sampai kita sendiri lupa
bagaimana caranya untuk berpisah." katamu saat memandang langit yang sama
dulu.
Kata-kata yang kuingat setiap lariknya
dalam tiap malam-malam setelahnya. Kalimat yang masih aku ingat dengan jelas
setiap nada dan intonasinya bertahun-tahun kemudian. Kata-kata yang sama yang
ingin juga aku sampaikan padamu, namun tak pernah terjadi. Hanya karena aku tak
bisa berkata semanis yang kamu ucap. Dan aku hanya membalasnya dengan senyum
simpul saja.
Demi waktu yang telah berlalu Biaz. Aku
bahkan akan mengucapkan kalimat itu ribuan kali, atau malah jutaan kali, agar
kamu tetap ada di sini. Atau aku akan menulis puisi tentang kita, dalam secarik
kertas agar kekal kenangannya. Apapun. Apapun akan aku lakukan jika kamu ada di
sini saat ini, di sisiku. Entah kenapa sikap aroganku waktu itu mengalahkan
keberanianku. Nyaliku ciut hanya untuk melafalkan "Aku juga ingin hal yang
sama." Dan baru kusadari kebodohanku sekarang. Saat segalanya tak lagi
sama.
==
Nizi kembali mengutuk dirinya untuk
kesekian kali hari ini. Air matanya masih saja mengalir tanpa disadari. Hey,
menjadi kuat bukan berarti tidak lagi boleh menangis bukan? Bukankah air mata
memang diciptakan dengan sebab musababnya sendiri? Tak ada yang melarangnya
untuk menangis. Dan lagi, pesan Biaz hanya satu. Untuk menjadi kuat.
Apa maksudmu dengan menjadi kuat Bi? Aku
lemah tanpamu. Aku tak mungkin bisa bertahan tanpa senyuman itu. Untuk siapa
aku bertahan?
==
"Kamu tahu Zi. Manusia diciptakan
saling melengkapi. Dia diciptakan juga untuk suatu hal. Pasti ada alasan
mengapa dia ada."
Aku bergemul dengan coklat hangatku.
Malam ini akan terasa panjang tanpa menyeduhnya. Dan di sini lagi kami
menghabiskan waktu berdua. Di antara tumpukan kertas dan file yang minta segera
untuk diselesaikan.
Aku tak merespon apapun yang Biaz
katakan. Sibuk menerawang dan melihat mobil menyemut di bawah sana dari kaca
jendela gedung berlantai 20 ini. Aku tahu kata-kata itu juga tak membutuhkan
jawaban. Biaz suka sekali berkata-kata sementara aku setia mendengar. Sama
seperti belasan tahun yang terlewat.
"Mungkin alasan utama kamu ada
adalah untuk jadi bawahan Pak Hendra, yang setiap minggu bisa bikin kamu naik
gaji dua kali lipat. Untuk selanjutnya kamu habiskan untuk foya-foya."
katanya yang aku sambut dengan lirikan jengkel. "Atau sebenarnya alasan
kamu ada itu sudah kamu temukan belasan tahun yang lalu."
Kali ini giliran mata Biaz yang
menerawang. Senyum tak lepas dari wajahnya, membuatnya makin teduh.
"Bahwa kamu ada untukku. Untuk
menemani hari-hariku sampai aku tiada nanti."
Sedetik jantungku berhenti berdetak. Aku
melihat matanya yang coklat pekat di balik kacamata, tenang. Setenang bulan
yang menggantung di langit Jakarta malam ini.
Setengah menit berlalu dengan hening.
Kami sama-sama ada dalam pikiran masing-masing. Entah apa maksud kalimat
terakhirnya itu, tapi kurasa itu hal paling membahagiakan dalam hidupku.
Mengalahkan rasanya saat diwisuda menjadi Mahasiswa terbaik se-angkatan. Dengan
nama terpampang begitu jelas di billboard dan ribuan orang menghargainya dengan
tepukan tangan.
Tidak. Rasa ini berbeda. Rasa ini begitu
istimewa karena dia yang kata. Seseorang yang juga istimewa dan memiliki tempat
tersendiri di hatiku sejak lama.
"Meski begitu, aku tak tahu berapa
lama aku akan bertahan hidup kan. Saat salah satu dari kita pergi, marilah
saling berjanji untuk menjadi kuat."
==
Lelah menangis membuat mata gadis itu
sedikit berat. Tanpa dikomando dia naik ke atas ranjangnya dan terlelap.
Kelak, semoga rasa sedih itu bisa
sedikit terbasuh oleh waktu.
==
Here I am, Bi. Sudah tepat setahun kamu
pergi. Hey, aku masih kuat bukan? Aku masih bertahan hidup. Dan akan kucoba
terus begitu setiap hari. Meski berat. Meski pedih. Karena aku tak punya
siapapun kecuali kamu. Tapi aku yakin aku bisa.
Karena dibalik diciptakannya manusia itu
pasti ada alasan. Dengan kepergianmu, mungkin satu alasan mengapa aku diciptakan
sudah terpenuhi. Sekarang aku sedang mengejar alasan yang lain. Alasan yang
akan aku perjuangkan tanpa kenal lelah.
Walau tanpa senyum hangatmu yang
menemani, walau tanpa coklat hangat buatmu yang selalu membuatku terjaga. Aku
akan jadi kuat untukmu. Untuk semua orang yang menyayangiku. Sebagai caraku
membahagiakan mereka.
Kupikir entah bagaimana caranya kita
bertahan selama ini terus bersama. Kukira aku sendiri tak punya alasan banyak
untuk menjawabnya. Tapi yang aku tahu, sepertinya kita benar-benar lupa cara
untuk berpisah bukan?
Nizi menaruh karangan bunga mawar di
atas makam Biaz. Menyentuh nisannya pelan. Tersenyum.
Kupikir mungkin sebenarnya Tuhan lah
yang mengirimkanmu untukku Bi. Alasan kamu hidup selama ini, adalah untuk
menemaniku bukan? Sampai pada saat aku bisa melangkah sendiri, lalu kamu pergi.
"Sudah selesai?" suara berat dan dalam mengaburkanku yang sedang termenung.
Aku mengangguk. Tersenyum.
Melupakanmu bukan hal yang mudah.
Merelakanmu apalagi. Tapi hidup seperti roda yang berputar bukan? Dia tak akan
pernah mau menunggu. Jadi kita sendiri yang harus mengejar. Aku tak akan
melewatkan lagi ketika aku punya kesempatan.
Waktu bersamamu mungkin sudah habis. Dan
aku telah memenuhi janji untuk ada disampingmu sampai akhir. Kali ini, ijinkan
aku untuk menepati janji yang lain. Janji yang kutorehkan setelah kau pergi.
Menjadi bahagia.
Aku beranjak pergi meninggalkan tanah
basah di hadapanku. Menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya pergi.
Betapa rindunya aku pada senyumanmu,
Biaz.
-*-
NP : Aku sebenarnya punya unfinished
novel about this couple. Damn, every single time I wrote this I made my self
cry. :'( But yea, I'm kinda like it. The feeling is so strong within these two
and nothing could seperate it bahkan kematian. Entah kenapa aku enjoy menulis
tentang hal ini ya. Kinda creepy though. But anyways, cerita di novel lebih ke
cerita remaja usia SMA while this one is the old version. Aku mulai nulis
cerita ini sejak SMA dan bayangkan sampe sekarang ceritanya belum rampung.
Stuck. (Mau bilang males atau ga ada ide nerusin kesannya gimana gitu, heheh )
Aku juga ga tau mau nerusin cerita itu
ato nggak yang jelas satu hal yang aku tahu. Aku jatuh cinta sama pasangan ini
jauh sejak pertama kali aku membuat versi novelnya. Mereka salah satu main char
yang suka aku bawa-bawa namanya waktu nulis. Ada satu pasangan lagi yang
kemungkinan aku buat cerpennya. Wait and see. Itu juga kalo ga males dan lagi
ada ide aja ya.
Well maybe some other time aku bakal
bikin versi yang a little bit fun instead of sad from these couple. Because,
for God's sake, I falling for them as much as I love them appear in my story
line. And feeling heart breaking everytime I set Biaz gone. Every single time!
Thanks for reading this again. Sorry
about my lacking here and there. But as the older say, practice makes perfect
right? So I just come by often and provide another little sugar or salt story
for you all.
Best regards,
Nizita Arlyn & Tobiaz Reksaka
0 comments:
Post a Comment