Sunday, May 18, 2014

Bersamamu, Hingga Akhir Waktu

Kuingin kau ada bersamaku. Selalu di sampingku. Sampai kita sendiri lupa bagaimana caranya untuk berpisah.

Nizi memejamkan matanya. Langit hari ini penuh dengan bintang. Malam yang indah di antara hari-hari yang kelabu akhir-akhir ini. Malam yang biasanya dia habiskan bersama dengan seseorang yang begitu berarti baginya. Bahkan gemerlap bintang gemintang tak dapat menutup luka yang tengah menganga di hatinya. Keindahan langit malam di Bandung kali ini, malah membawa pikirannya melayang jauh, membelah dimensi dan mengumpulkan kembali serpih sakit yang begitu ingin dia lupakan belakangan ini.

Kenapa kamu harus meninggalkan aku Bi?

Pertanyaan itu berulang dan terus berputar di otaknya. Kian menggema. Kian jelas. Kian menambah kesepian itu.

Kamu ingkar janji Biaz.

Kata-kata itu terlontar keluar dari pikirannya. Kemudian Nizi menggeleng kuat-kuat. Berusaha menekan nyeri yang menjalar di dada. Setetes air sebening kristas menguar dari ujung matanya.

Maaf ya Bi. Ternyata aku memang nggak sekuat itu.

Tetesan lain berhamburan. Kali ini bekerjaran seperti hujan yang rintik membasahi bumi.

Nizi menelungkupkan kepalanya. Tangisan yang sudah berhari-hari. Bahkan berminggu-minggu ia tahan itu, akhirnya mengalir lagi. Sama derasnya waktu seseorang yang dia rencanakan untuk menghabiskan banyak waktunya di masa depan pergi. Meninggalkan hatinya yang porak poranda penuh derita.


==

Biaz.
Laki-laki seumuran yang sudah lama kukenal ini selalu menyambutku dengan senyumnya yang hangat sehangat mentari pagi. Walau aku sering kali membuatnya kena masalah karena ulahku, entah kenapa senyum itu selalu melekat di sana. Senyum yang selalu aku tunggu di setiap pagi saat berangkat sekolah. Senyum yang membuatku selalu bertahan di masa-masa sulit yang aku alami. Senyum yang menyadarkanku aku memiliki seseorang seperti dia yang selalu ada di sisiku.

Bahkan di hari terberatku. Saat setumpuk kerjaan klien menumpuk dan harus lembur mati-matian di kantor tiap malam, mengorbankan malam Minggu untuk kerja tidak seperti pasangan selayaknya, senyum itu juga yang menguatkanku untuk bertahan. Senyum yang membawa semangatku bangkit dari titik 0 penghabisan. Hanya dengan senyumnya, Biaz mampu membawa duniaku seringan ini. Membuat semua yang aku lalui tak berarti.

Apa jadinya aku tanpa senyummu ini, Bi?

==

"Mau aku temani lembur?" tawarnya. Aku ingin sekali mengangguk. Tapi rasanya kebaikannya selama ini sudah terlalu banyak untukku.

"Setengah jam lagi selesai kok, Bi." aku menolak pelan.

"Kalau begitu aku bawakan coklat panas kesukaan kamu ya."

Tanpa kujawab dia pasti langsung menghilang ke ruang pantry. Hingga beberapa menit kemudian muncul dengan membawa coklat panas favoritku.

Aku hanya bisa berterimakasih.

Juga saat ternyata setengah jam kemudian dia masih menunggu dan meminta pulang bersama. Tanpa pernah aku minta, dia selalu sebaik ini. Perhatian yang dia curahkan menjadi anugrah terbesar dalam hidupku 15 tahun belakangan.

Haah.. Ternyata sudah begitu lama ya kita mengenal satu sama lain Bi? Apa yang tak kamu ketahui tentangku Bi? Apa yang aku tak tahu tentangmu? Sepertinya jawabannya tak ada. Tidak ada yang pernah kita sembunyikan. Karena kita sudah terbiasa menceritakan segalanya satu sama lain.

==

Tapi bagaimana mungkin aku bisa seteledor ini? Aku bahkan tidak tahu ada sesuatu yang kamu rahasiakan. Ada sesuatu yang kamu pendam dalam dan tak ingin aku mengetahuinya. Kenapa kamu bisa setega ini Bi? Kita sudah saling mengenal selama 15 tahun! Apakah ada artinya waktu selama itu untukmu?

"Sayang, masuklah. Nanti kamu masuk angin." tegur wanita cantik separuh baya dari depan pintu.

Nizi menengok dan memberi senyuman. "Sebentar lagi ya, Ma."

Wanita tadi mengangguk dan meninggalkan Nizi sendiri dengan maklum.

Nizi menengadahkan wajahnya ke langit.

Kamu ingat apa kata-kata yang kamu ucapkan padaku saat pertama kali kita lulus SMA, Bi?

==

"Aku berharap kebersamaan kita ini tak berujung waktu. Aku ingin selalu bersama dan menemanimu. Dalam segala situasi dan kondisi. Aku ingin terus bersama denganmu sampai kita sendiri lupa bagaimana caranya untuk berpisah." katamu saat memandang langit yang sama dulu.

Kata-kata yang kuingat setiap lariknya dalam tiap malam-malam setelahnya. Kalimat yang masih aku ingat dengan jelas setiap nada dan intonasinya bertahun-tahun kemudian. Kata-kata yang sama yang ingin juga aku sampaikan padamu, namun tak pernah terjadi. Hanya karena aku tak bisa berkata semanis yang kamu ucap. Dan aku hanya membalasnya dengan senyum simpul saja.

Demi waktu yang telah berlalu Biaz. Aku bahkan akan mengucapkan kalimat itu ribuan kali, atau malah jutaan kali, agar kamu tetap ada di sini. Atau aku akan menulis puisi tentang kita, dalam secarik kertas agar kekal kenangannya. Apapun. Apapun akan aku lakukan jika kamu ada di sini saat ini, di sisiku. Entah kenapa sikap aroganku waktu itu mengalahkan keberanianku. Nyaliku ciut hanya untuk melafalkan "Aku juga ingin hal yang sama." Dan baru kusadari kebodohanku sekarang. Saat segalanya tak lagi sama.

==

Nizi kembali mengutuk dirinya untuk kesekian kali hari ini. Air matanya masih saja mengalir tanpa disadari. Hey, menjadi kuat bukan berarti tidak lagi boleh menangis bukan? Bukankah air mata memang diciptakan dengan sebab musababnya sendiri? Tak ada yang melarangnya untuk menangis. Dan lagi, pesan Biaz hanya satu. Untuk menjadi kuat.

Apa maksudmu dengan menjadi kuat Bi? Aku lemah tanpamu. Aku tak mungkin bisa bertahan tanpa senyuman itu. Untuk siapa aku bertahan?

==

"Kamu tahu Zi. Manusia diciptakan saling melengkapi. Dia diciptakan juga untuk suatu hal. Pasti ada alasan mengapa dia ada."

Aku bergemul dengan coklat hangatku. Malam ini akan terasa panjang tanpa menyeduhnya. Dan di sini lagi kami menghabiskan waktu berdua. Di antara tumpukan kertas dan file yang minta segera untuk diselesaikan.

Aku tak merespon apapun yang Biaz katakan. Sibuk menerawang dan melihat mobil menyemut di bawah sana dari kaca jendela gedung berlantai 20 ini. Aku tahu kata-kata itu juga tak membutuhkan jawaban. Biaz suka sekali berkata-kata sementara aku setia mendengar. Sama seperti belasan tahun yang terlewat.

"Mungkin alasan utama kamu ada adalah untuk jadi bawahan Pak Hendra, yang setiap minggu bisa bikin kamu naik gaji dua kali lipat. Untuk selanjutnya kamu habiskan untuk foya-foya." katanya yang aku sambut dengan lirikan jengkel. "Atau sebenarnya alasan kamu ada itu sudah kamu temukan belasan tahun yang lalu."

Kali ini giliran mata Biaz yang menerawang. Senyum tak lepas dari wajahnya, membuatnya makin teduh.

"Bahwa kamu ada untukku. Untuk menemani hari-hariku sampai aku tiada nanti."

Sedetik jantungku berhenti berdetak. Aku melihat matanya yang coklat pekat di balik kacamata, tenang. Setenang bulan yang menggantung di langit Jakarta malam ini.

Setengah menit berlalu dengan hening. Kami sama-sama ada dalam pikiran masing-masing. Entah apa maksud kalimat terakhirnya itu, tapi kurasa itu hal paling membahagiakan dalam hidupku. Mengalahkan rasanya saat diwisuda menjadi Mahasiswa terbaik se-angkatan. Dengan nama terpampang begitu jelas di billboard dan ribuan orang menghargainya dengan tepukan tangan.

Tidak. Rasa ini berbeda. Rasa ini begitu istimewa karena dia yang kata. Seseorang yang juga istimewa dan memiliki tempat tersendiri di hatiku sejak lama.

"Meski begitu, aku tak tahu berapa lama aku akan bertahan hidup kan. Saat salah satu dari kita pergi, marilah saling berjanji untuk menjadi kuat."

==

Lelah menangis membuat mata gadis itu sedikit berat. Tanpa dikomando dia naik ke atas ranjangnya dan terlelap.

Kelak, semoga rasa sedih itu bisa sedikit terbasuh oleh waktu.

==

Here I am, Bi. Sudah tepat setahun kamu pergi. Hey, aku masih kuat bukan? Aku masih bertahan hidup. Dan akan kucoba terus begitu setiap hari. Meski berat. Meski pedih. Karena aku tak punya siapapun kecuali kamu. Tapi aku yakin aku bisa.

Karena dibalik diciptakannya manusia itu pasti ada alasan. Dengan kepergianmu, mungkin satu alasan mengapa aku diciptakan sudah terpenuhi. Sekarang aku sedang mengejar alasan yang lain. Alasan yang akan aku perjuangkan tanpa kenal lelah.

Walau tanpa senyum hangatmu yang menemani, walau tanpa coklat hangat buatmu yang selalu membuatku terjaga. Aku akan jadi kuat untukmu. Untuk semua orang yang menyayangiku. Sebagai caraku membahagiakan mereka.

Kupikir entah bagaimana caranya kita bertahan selama ini terus bersama. Kukira aku sendiri tak punya alasan banyak untuk menjawabnya. Tapi yang aku tahu, sepertinya kita benar-benar lupa cara untuk berpisah bukan?

Nizi menaruh karangan bunga mawar di atas makam Biaz. Menyentuh nisannya pelan. Tersenyum.

Kupikir mungkin sebenarnya Tuhan lah yang mengirimkanmu untukku Bi. Alasan kamu hidup selama ini, adalah untuk menemaniku bukan? Sampai pada saat aku bisa melangkah sendiri, lalu kamu pergi.

"Sudah selesai?" suara berat dan dalam mengaburkanku yang sedang termenung.

Aku mengangguk. Tersenyum.

Melupakanmu bukan hal yang mudah. Merelakanmu apalagi. Tapi hidup seperti roda yang berputar bukan? Dia tak akan pernah mau menunggu. Jadi kita sendiri yang harus mengejar. Aku tak akan melewatkan lagi ketika aku punya kesempatan.

Waktu bersamamu mungkin sudah habis. Dan aku telah memenuhi janji untuk ada disampingmu sampai akhir. Kali ini, ijinkan aku untuk menepati janji yang lain. Janji yang kutorehkan setelah kau pergi. Menjadi bahagia.

Aku beranjak pergi meninggalkan tanah basah di hadapanku. Menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya pergi.

Betapa rindunya aku pada senyumanmu, Biaz.

-*-

NP : Aku sebenarnya punya unfinished novel about this couple. Damn, every single time I wrote this I made my self cry. :'( But yea, I'm kinda like it. The feeling is so strong within these two and nothing could seperate it bahkan kematian. Entah kenapa aku enjoy menulis tentang hal ini ya. Kinda creepy though. But anyways, cerita di novel lebih ke cerita remaja usia SMA while this one is the old version. Aku mulai nulis cerita ini sejak SMA dan bayangkan sampe sekarang ceritanya belum rampung. Stuck. (Mau bilang males atau ga ada ide nerusin kesannya gimana gitu, heheh )
Aku juga ga tau mau nerusin cerita itu ato nggak yang jelas satu hal yang aku tahu. Aku jatuh cinta sama pasangan ini jauh sejak pertama kali aku membuat versi novelnya. Mereka salah satu main char yang suka aku bawa-bawa namanya waktu nulis. Ada satu pasangan lagi yang kemungkinan aku buat cerpennya. Wait and see. Itu juga kalo ga males dan lagi ada ide aja ya.
Well maybe some other time aku bakal bikin versi yang a little bit fun instead of sad from these couple. Because, for God's sake, I falling for them as much as I love them appear in my story line. And feeling heart breaking everytime I set Biaz gone. Every single time!
Thanks for reading this again. Sorry about my lacking here and there. But as the older say, practice makes perfect right? So I just come by often and provide another little sugar or salt story for you all.

Best regards,
Nizita Arlyn & Tobiaz Reksaka

0 comments:

Post a Comment

 
;