Sunday, May 4, 2014

Sepotong Pelangi yang Terluka Part 2

Namanya Hanif. Cowok itu dengan mudah mempesonaku yang masih lugu dan polos. Dalam masa pencarian cinta yang entah paham atau tidak kemana arahnya, aku seperti sedang ingin mencari sosok untuk dijadikan pusat. Dari kekagumanku, perhatianku, pandanganku, semua.

Dan cowok itu seperti datang di waktu yang tepat. Memberi angin segar di hidupku yang baru menginjak remaja. Terpesona dengan kakak kelas yang keren termasuk perbuatan mainstream remaja sepertiku. Bahasa gaulnya, ngecengin.


Maka jadilah saat itu, aku dan beberapa cewek membentuk grup untuk saling bertukar cerita tentang gebetan masing-masing.

Diantara semuanya ada Nita. Dia cewek yang ceplas-ceplos, apa adanya, dan paling berani diantara kami. Gina dengan wajah cantiknya yang selalu membuat seluruh laki-laki menengok ke arahnya. Ella yang tergolong lebih dewasa dari yang lain. Dan Rina yang kalo bicara nggak akan berhenti dengan teori sok tahunya yang waktu itu entah kenapa kita berempat percayai.

Aku? Aku tergolong pemalu dan tak banyak kata diantara mereka semua. Yang kulakukan saat berkumpul hanya terdiam, mendengar, dan tersipu saat sedetik nama Hanif terdengar.

Tapi entah kenapa aku merasa beruntung dipertemukan dengan mereka. Mereka yang sedikit banyak mengompori soal seharusnya aku lebih banyak agresif ke Hanif, walau akhirnya selama setahun berlalu, tak ada perkembangan. Bahkan tahun-tahun berikutnya.

Dia anak kelas 3 sedang aku kelas 1. Sudah setahun berlalu dan dia akan pergi kuliah. Meninggalkan segala serba-serbi dunia remaja menuju ke tempat yang akan membawanya semakin matang. Menjadi dewasa. Bahkan selama satu tahun itu aku tak banyak melakukan sesuatu. Hanya tersenyum sekedarnya saat saling berpapasan. Dan aku baru menyesalinya saat perpindahan kelas 2. Bahwa aku tak akan pernah punya kesempatan lagi. Bahwa semuanya akan hilang ditelan waktu.

Aku memperbaiki posisi duduk. Pegal berlama-lama dalam posisi yang sama bekerja di depan layar.

Masa lalu itu, masa lalu yang sudah aku lupakan beberapa tahun belakangan tercerai berai lagi. Padahal sudah susah payah aku menguburnya. Menutup semua kemungkinan yang ada. Tapi dengan polosnya Nita bertanya. Seakan itu perkara mudah buatku.

Aku menyeruput kopiku pelan. Sejak semalam aku belum makan. Anehnya aku tak merasa lapar. Duniaku seolah terhenti hari ini. Bukan. Tepatnya semalam. Ketika tanpa menyebut nama pun luka yang kujahit sekarang menganga lagi.

Bahkan aku belum pernah ngobrol dengannya.

Kadang tak perlu penjelasan atas cinta. Karena sesungguhnya cinta adalah penjelasan itu sendiri.

Hahh... Aku menghembuskan nafas sebal.

Masalah ini sebenarnya sepele. Dari dulu juga begitu. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. Terlalu takut menerima kenyataan.

Ya. Cinta bertepuk sebelah tangan.

0 comments:

Post a Comment

 
;